This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 01 Desember 2009

IBNU MISKAWAIH DAN CORAK FILSAFATNYA



Oleh:Tirta As-Sundawy

A.    Pendahuluan

Segala puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam yang telah memberikan berbagai nikmatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Ushwah kita yakni Nabi Muhamad SAW. Beserta kaluarganya, shahabat dan ummatnya yang setia mengikuti jejak langkahnya hingga akhir zaman.

Filsafat merupakan salah satu ilmu yang cukup terkenal dan banyak dibicarakan hingga hari ini. Banyak bermunculan tokoh-tokoh filsafat tak terkecuali tokoh filsafat Islam, salah satunya adalah Ibnu miskawaih.  Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang beliau, biografi, pemikiran filsafatnya dan hubungan dengan para filsafat lainnya.

B.     Biografi

Ibnu Miskawaih adalah filsuf muslim yang hidup antara tahun 330-421 H/940-1030 M. Ia menyandang nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Miskawaih.[1] Beliau lahir di Raiy, salah atu kota yang dalam abad sekitar hidupnya sangat terkenal di  Persi, yaitu Teheran sekarang ini.

Mengenai kemajusiannya sebelum Islam banyak dipersoalkan, Jurzi Zaidan misalnya berpendapat bahwa ia adalah majusi, kemudian memeluk Islam. Sedangkan Yaqut da pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi kemudia memeluk Islam. Artinya Ibnu Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama bapaknya, Muhamad.[2]

Mengenai pendidikannya, dianggap kuat Ibnu miskawaih tidak mendapat pelajaran privat (mendatangkan guru ke rumah) sebagaimana kebiasaan anak-anak pada masanya, karena ekonomi keluarganay yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Miskawaih terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku. Terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, menteri Rukih Ad-Daulah. Juga akhirnya memperolllleh keperacayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Ad-Daulah.[3]

Beliau mengais Ilmu di Baghdad dan meninggal di Isfahan. Setelah menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan Ia akhirnya memusatkan diri dalam kajian sejarah dan Etika. Gurunya dalam lapangan sejarah adalah Abu Bakr Ahmad Ibnu Kamil Al-Qadhi dan Ibu Al-Khammar daam lapangan Filsafat.[4]

Menurut Otto Horrassowitz, Ibnu Miskawaih termasuk tokoh Filosof abad klasik, yang dari Ibnu Miskawaih dijumpai pemikiran Filsafat tentang moral, pengobatan Rohani dan filsafat sejarah.[5]

Beliau bakerja selama puluhan tahun sebagai pustakawan pada sejumlah Wazir dan Amir Bani Buwaih, yakni Wazir Hasan Al-Mahlabi di Baghdad (348-352 H), Wazir Abu Al-Fadhl Muhamad Ibu Al-Amid di Raiy (325-360) dan sejumlah amir lainnya.

C.    Karya-karya Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih ialah seorang pujangga yang memiliki keahlian dalam bermacam-macam ilmu, terutama ilimu sejarah, ilmu tabib dan ilmu dalam kebudayaa Islam pada jamannya. Dan oleh karena itu beberapa buah diantaranya sampai sekarang masih menjadi bahan penyelidikan dan sudah banyak diterjemahkan orang dalam beberapa bahasa Eropa dan Asia. [6]

Keseluruhan karyanya berjumlah 18 buah yang sebagian besar mengkaji masalah jiwa dan Etika. Diantara karyanya antara lain:

1.      Al-Fauz Al-Ashghar (Tentang keberhasilan)

2.      Tajarib Al-Umam (Tentang pengalamn bangsa-bangsa)

3.      Tahdzib Al-Akhlaq (Tentang pendidikan Akhlak)

4.      Al-Ajwibah wa Al-Asilah fi al-Nafs wa al-‘Aql (Tanya jawab tentang jiwa dan akal)

5.      Al-Jawab fi al-Masil al-Tsalats (Jawaban tentang tiga masalah)

6.      Thaharah al-Nafs (kesucian jiwa)

7.      Risalah fi al-Ladzdzah wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs (Tentang kesenangan dan kesedihan jiwa) dan

8.      Risalah fi Haqiqah al-‘Aql (Tentang hakikat akal)[7]

9.      Al-Fauz al-Akbar

10.  Uns al-Farid (koleksi anekdot, syai’ir, pribahasa, dan kata-kata hikmah)

11.  Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)

12.  Al-Mustaufa (sya’ir-sya’ir pilihan)

13.  Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)

14.  Al-Jami’

15.  Al-Siyar (tentang tingkah laku kehidupan)

16.  On the simple Drugs (tentang kedokteran)

17.  On the composition of the Bajat (seni memasak)

18.  Kitab al-Asyribah (tentang minuman)[8]



D.    Filsafat Ibnu Miskawaih

a.      Metafisika

Beliau tidak memberi perhatian besar terhadap masalah ketuhanan, karena pada masanya tidak banyak lagi diperbincangkan lagi masalah tersebut. Dengan demikian pemikirannya tidak tidak banyak berbeda dengan Filsuf sebelumnya, terutama Al-Farabi dan Al-Kindi. Hal ini tampak bahwa Tuhan menurut Ibnu Miskawaih adalah zat yan tidak berjisim, azali dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek . Tuhan tidak terbagi-bagi karena tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara denganNya. Tuhan ada tanpa diadakan, dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkanNya.[9]

Tuhan menurutnya adalah penggerak utama yang tidak bergerak dan pencipta yang tidak berubah-ubah. Ia bersifat abadi dan non materi, serta berbeda dengan entitas apapun yang tunduk terhadap hukum perubahan. Karena itu Tuhan yang secara mutlak bebas dari materi, secara mutlak tidak berubah dan kebebasa Tuhan dari materilah yang membuat kita tidak mungkin menggambarkannya dengan istilah apapun. Tetapi menurut beliau, keharusan untuk menganggap kesempurnaan tertinggi berasal dariNya, maka kita harus dibimbing dalam masalah ini oleh keentuan kitab suci.

Dalam masalah penciptaan, Ibni MIiskawaih menyajikan teori Emanasi Neo-Platonisme sebagaimana halnya Al-Farabi. Tetapi dalam perumusan tahapan-tahapan emanasi dimaksud, antara keduanya terdapat perbedaan.

Menurut Ibnu miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘Aql Fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna dan tak berubah. Pancaran yang terus menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, sekiranya pancaran Tuhan dimaksud terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan di alam ini.[10]

Berdasarkan pendapat beliau diatas, maka dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan Al-Farabi sebagai berikut:

1.      Bagi Ibnu Miskawaih, Tuhan menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada. Sedangkan menurut Al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.

2.      Bagi Ibnu Miskawaih, ciptaan tuhan yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan bagi Al-Farabi ciptaan Tuhan yang pertama adalah Akal 1, dan Akal aktif adalah akal yang kesepuluh.

Jika ditilik pemikiran Ibn Miskawaih ini, hanya dalam masalah pokok bersesuaian dengan Al-Farabi. Dalam pendekatan masalah terlihat lebih dekat dengan Al-Kindi atau mutakallimin.

b.      Evolusi

Seperti Ikhwan Al-Safa, Ibnu Miskawaih menganut faham Evolusi. Bila dalam faham IKhwan Al-Safa dikatakan bahwa yang lebih dahulu muncul dibumi ini adalah alam mineral, kemudian baru tumbuhan, kemudian binatang, dan kemudian baru manusia. Dengan penjalaasn bahwa pada puncak perkembangan ala binatang terdapat kera yang banyak persamaannya dengan dalam betuk dan kelakuan. Maka Ibnu Miskawaih juga mengajukan prinsip yang sama. Evolusi manurutnya berlangsung dari alam mineral ke ala tumbuh-tumbuhan, selamjutmua ke alam binatang, seterusnya ke alam manusia. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuhan terjadi melalui merjan (kerang), dari alam tumbuhan kea lam binatang melalui pohon kurma dan dari alam binatang ke alam manusia melalui kera.[11]

c.       Kenabian

Dalam masalah kenabian tampaknya tak ada perbedaan pendapat antara Ibu miskawaih dan Al-Farabi dalam memperkecil perbedaan Nabi dengan Filsuf. Menurut Ibnu Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena pengaruh akal aktif atas daya imajenasinya. Hakikat yang sama juga diperoleh Filsuf. Perbedaannya terletak pada cara memperolehnya. Para Filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya indrawi naik ke daya khayal, dan naik lagi ke daya piker sehingga dapat berhubungan da menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal aktif sebagai rahmatTuhan.[12] Jadi menurutnya, sumber kebenaran yang diperoleh oleh Nabi dan filsuf adalah sama, yaitu akal aktif.

Pemikiran ini sejalan dengan Al-Farabi. Oleh karena kebenaran itu satu, baik yang pada Nabi maupun yang ada pada Filsuf, maka yang paling awal menerima dan mengakui apa yang dibawa Nabi adalah Filsuf.

d.      Moral

Menurut beliau, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-Nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[13]

Akhlak terpuji sebagai manisfestasi dari watak tidak benyak dijumpai, yang terbanyak adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji karena watak. Karena itu, menurut beliau kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang kepada sifat tercela.

Ibnu Miskawaih menolak pendapat yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh beliau ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan.

Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. hal ini terlihat dari salah satu tujuan ibadah adalah pembentukan akhlak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku mayarakat.

Adapun jiwa menurut Ibnu Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Menurutnya, kebahagian dan kesengsaraan diakhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanah kelezatan hakiki.

Kemudian masalah pokok yang dibicarakan dalam kajiannya tentang akhlak adalah kebaikan (al-Khair), kebahagiaan (al-Sa’adah) dan keutamaan (al-Fadhilah). Menurut beliau, kebaikan adalah suatu keadaan diaman kita sampai pada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum dan khkusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaiakan bagi seseorang secara pribadi. Yang terakhir inilah yang dinamakan kebahagiaan. Jadi menurut beliau, kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya.

Kebahagiaan banyak dibicarakan pemikir Yunani dalam dua versi, yaitu pandangan pertama diwakili oleh Plato yang berpendapat bahwa hanya jiwalah yang dapat memperoleh kebahagiaan. Sehingga selama jiwa msih terkait dengan badan, maka selama itu pula manusia tidak akan mendapat kebahagiaan. Sedangkan kedua diwakili oleh Aristoteles yang berpandangan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja berbeda menurut masing-masing manusianya.

Ibnu Miskawaih tampil diantara kedua pendapat itu. Menurutnya, karena manusia mempunyai dua unsur yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Ada manusia yang bahagia karena terikat dengan hal yang bersifat benda, namun ia rindu terhadap kebahgiaa jiwa dan terus berusaha mendapatkannya. Ada pula menusia yang mendapat kebahagian melalui jiwa dan melepas kebendaan.

Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibu miskawaih mengandung kepedihan dan penyesalan serta menghabat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Kebahagian jiwalah yang merupakan kebahagian yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memiliinya kederajat malaikat.[14]

e.       Prinsip sejarah

Ibu miskawaih menghendaki agar sejarah ditulis dengan sikap kritis dan filosofis. Sejarah menurutnya bukanlah cerita hiburan tentang pribadi raja, melainka harus mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan social pada masa-masa tertentu juga harus merekam naik turunnya peradaban, bangsa, dan negara. Menurutnya, sejarahwan harus menjauhi kecenderungan mencampuradukkan fakta dan fiksi . sejarahwan tidak saja tekun mencari fakta, tetapi juga harus kritis dalam pengumpulan data. Selain itu, sejarah juga tidak cukup disajikan melalui data-data, tetapi juga disertai pula tinjauan filosifis, yaitu menafsirkan dalam bingkai relasi kuasa yang sarat kepentingan.[15]

E.     Penutup

Ibnu Miskawaih merupakan tokoh filsafat Islam yang cukup terkenal. Keilmuan beliau sebagian besar di peroleh secara otodidak. Mengenai Kemajusian dan Faham syi’ahnya masih dibicarakan banyak kalangan.

Dalam hal pemikirannya, Ibnu miskawaih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Banyak pemikiranya yang tidak sesuai dengan Islam, diantaranya pemikiran beliau tentang Evolusi, menyamakan Nabi dengan para filsuf, kehidupan setelah kematian yang hanya di alami jiwa saja dan banyak lagi pemikiran lainnya. Namun tentu ada pula yang sejalan dengan Islam, diantaranya dalam konsep ketuhanan dan moral atau akhlak, beliau berpendapat bahwa tabiat manusia dapat dirubah diantarnya malalui pendidikan dan  latihan-latihan. Ini sesuai dengan tujuan di utusnya Rasulullah SAW, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Wa Allahu ‘alam.

F.     Daftar pustaka



Aceh Abu Bakar, sejarah filsafat Isalm, Sala:C.V.Ramdhani, Cet. 2 th 1982

Dahlan Abdul Aziz , pemikiran filsafat dalam Islam, Jakarta: Djambatan, Cet, 1 th 2003

Drajat  Amroeni, Filsafat Islam buat yang pengen tahu, Jakarta:Penerbit Erlangga, cet. I th 2006

Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. 2 th 2004

Nasution Hasyimsyah,  Filsafat Islam, Jakarta:Gaya media pratama, Cet, 3 th 2002

Nato Abu Dain, Metodologi studi Ialam, Jakarta:Raja Grafindo Perkasa, Cet. 4 th 2000

[1] Amroeni Drajat, Filsafat Islam buat yang pengen tahu, Jakarta:Penerbit Erlangga, cet. I th 2006, hal. 42

[2] Dr.Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, Jakarta:Gaya media pratama, Cet, 3 th 2002, hal. 56

[3] Drs. H.A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. 2 th 2004, hal. 168

[4] Amroeni Drajat, loc.cit, hal. 42

[5] Dr. H. Abu Dain Nato. MA, Metodologi studi Ialam, Jakarta:Raja Grafindo Perkasa, Cet. 4 th 2000 hal. 212

[6] Prof.Dr.H.Abu Bakar Aceh, sejarah filsafat Islam, Sala:C.V.Ramdhani, Cet. 2 th 1982, hal. 174

[7] Amroeni Drajat, Op.cit, hal. 43

[8] Ibid,hal. 57-58

[9] Dr.Hasyimsyah Nasution, M.A. Op.cit, hal. 58

[10] Ibid,hal. 59-60

[11] Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, pemikiran filsafat dalam Islam, Jakarta: Djambatan, Cet, 1 th 2003, hal. 89-90

[12] Dr.Hasyimsyah Nasution, M.A. Op.cit, hal. 61

[13] Ibid,hal. 61

[14] Ibid.hal. 64-65

[15] Ibid,hal. 43-44

Minggu, 29 November 2009

AL-FARABI



Oleh Ilham Al-Azhary

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, yang kepada-Nya kita menyembah dan memohon pertolongan.

Shalawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad Saw., beserta keluarga, shahabat dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman.

Pada makalah ini insya Allah kami akan mencoba menjelaskan mengenai Filsafat Ibnu Farabi berikut pemikiran-pemikiran beliau seputar filsafat, serta tidak ketinggalan pula biografi beliau secara singkat agar menambah wawasan kita mengenai Ibnu Farabi.

v  Biografi Singkat  Farabi

Mengenal sosok atau biografi kehidupan seorang tokoh adalah hal yang sangat penting sebelum mengkaji buah pemikiran seorang tokoh. Sehingga sudah barang tentu kita harus mengenal siapa sosok Ibnu Farabi, meskipun hanya sepintas atau sedikit. Berikut biografi singkat beliau.

Nama lengkap beliau adalah Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhn ibn Auzalagh. Dikalangan orang latin abad tengah ia lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunaser). Ia dilahirkan di Wasij, distrik farab sekarang lebih dikenal dengan kota Atrar, di daerah Turkistan  pada 257 H/870 M. ibunya berkebangsaan Turki, sementara  Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia.[1] Sejak kecil ia telah meninggalkan kota kelahirannya. Ia mengembara ke berbagai Negara hingga akhirnya tibalah ia ke kota Baghdat, pusat peradaban saat itu di sana ia memperdalam Filsafat selama dua puluh tahun Ia pernah mengajar dan mengulas beberapa buku-buku filsafat yunani, diantara anak muridnya yang terkenal adalah Yahya Ibn ‘Adi, seorang filosuf kristen.

Karena kepintaran dan kepakarannya dibidang Filsafat, ia diangkat menjadi seorang ulama istana pada saat pemerintahan Saif al-Daulah al-Hamdani sebuah dinasti Hamdan di Aleppo kota Damaskus. Dengan demikian ia mendapatkan tunjangan yang lumayan besar, namun ia lebih memilih hidup sederhana dengan empat dirham untuk memenuhi hidupnya dalam 1 hari, dan selebihnya ia sedekahkan kepada para fakir miskin di daerah Aleppo dan Damaskus, bahkan diriwayatkan ia sering kelihatan pada waktu malam sedang membaca dan mengarang dibawah sinar lampu penjaga malam.[2]

Hampir 10 tahun ia hanya berpindah-pindah dari dua kota itu, yang pada akhirnya hubungan dua kota itu semakin memburuk, alhasil membuat sultan  Saif ad-Daulah menyerbu kota Damaskus dan berhasil menaklukkanya, sementara Al-Farabi diikut sertakan dalam penyerbuan itu. Sampai akhirnya ia menutup mata selama-lamanya di kota itu dalam usia 80 tahun.

v  Peran Al-Farabi Dalam Filsafat

Al-Farabi merupakan Filusuf yang pertama yang berhasil memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh seperti di dalam kitab karangannya yang berjudul Ihsha’u al-‘Ulum” yang memandang Filsafat secara utuh dan sempurna serta membahasnya secara mendetail[3]

ia juga sangat terkenal akan kepakarannya dalam hal filsafat Aristoteles sehingga ia dikenal dengan sebutan Mu’allim Tsani (Guru kedua).[4]

Selain itu lewat usahanya pula perdebatan antara Filsafat Plato dan Aristoteles akhirnya berakhir. Ia berhasil menyatukan kedua filsafat tersebut lewat karyanya “Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimain Alfathun wa Aristhu”  yang sering menjadi rujukan para filosuf sesudahnya seperti Ibnu Rusdy dan Ibnu Sina[5]

Dalam karyanya ini ia berhasil memadukan pemikiran kedua Filsafat ini yakni Plato dan Aristoteles.dalam temuannya ini dikenal dengan istilah “Pemaduan Falsafah” (al-falsafah at-Taufiqiyyah) salah satu contohnya adalah teori simbol dan gaya bahasa.[6] Dalam memahami pemikiran Plato dalam setiap karangannya maka akan menemukan kesulitan dalam memahaminya karena Plato lebih banyak menggunakan gayabahasa yang sulit serta kiasan-kiasan yang sulit dimengerti. Hal ini terkadang membuat penafsiran yang berbeda mengenai pemikirannya. Gaya bahasa serta kiasan-kiasan yang dibuat Plato dalam setiap karangannya karena menurutnya Filsafat hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Hal ini sungguh berbeda sekali dengan Aristoteles yang menggunakan gaya bahasa yang sistematis dan mudah difahami. Namun dalam beberapa hal terdapat juga pembahasan yang sulit dipahami seperti dalam hal akhlaq, ilmu fisika dan metafisika. Karena memang Aristoteles memang membatasi hal ini hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dan Ibnu Farabi menetapkan bahwa hakekatnya kedua Filosuf ini (Platod dan Aristoteles) membatasi Filsafat hanya untuk orang-orang tertentu saja. Tidak untuk semua orang.[7]

Alfarabi berkesimpulaan bahwa Aristoteles dan Plato memiliki tujuan yang sama yakni mencari sebuah kebenaran, keduanya bertemu dan berjalan seiringan, Alfarabi menamakannya Neo Plato (Neo Platonisme). Keduanya berjalan seiringan hingga akhirnya tiba di dalam Islam, yakni keyakinan Islam.[8]



v  Pemikiran Ibnu Farabi Dalam Filsafat

Dalam membahas pemikiran Ibnu Farabi ini kami membagi pemikirannya menjadi beberapa segi diantaranya, metafisika, akhlaq, jiwa dan lain sebagainya.

    I.        Metafisika

Pembahasan mengenai Metafisika ini al-Farabi memulai bahasan mengenai masalah wujud Allah. Al-Farabi mengemukakan dalil dalam falsafah yang dikenal dengan dalil (Ontologi) : Dalil yang berpijak pada konsep wajib dan Mungkin.[9] Menurut Al-Farabi wujud ada dua macam :

a)    Mumkin Wujud, adanya wujud yang nyata karena ada yang lainnya. Seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.

b)   Wajibul Wujud Lidzatihi, adanya wujud yang nyata dengan terjadi dengan sendirinya. Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud.[10]

c)    Kata al-Farabi untuk mengetahui Tuhan dapat dibuktikan dengan adanya bukti dari teori gerak. Semua yang terdapat dialam semesta selalu bergerak yang pada gilirannya bermuara pada satu hal yang pasti, yaitu adanya sesuatu yang  tidak bergerak tetapi bertindak sebagai penggerak. [11]

Kemudian pada masalah lainya seperti zat Tuhan, Bagi Al-Farabi tuhan adalah aql murni, Ia esa adanya dan yang menjadi objek pemikirannya hanya substansi-Nya. Jadi tuhan adalah ’aql, ‘aqil, dan ma’qul (akal, substansi yang berfikir dan substansi yang difikirkan).[12]

Tuhan yang digambarkan oleh Al-Farabi adalah tuhan yang jauh dari makhluq-Nya, dan ia tidak dicapai kecuali dengan jalan renungan dan amalan serta pengalaman-pengalaman tasawuf.[13]

Kemudian mengenai penciptaan alam semesta, Al-Farabi yang ingin mengselaraskan filsafat Yunani dengan Islam sehingga cendrung menggunakan teori Emanasi yang diusung Platonisme[14], menurutnya tuhan menciptakan sesuatu dengan bahan yang sudah ada secara pancaran.[15] Pancaran (emanasi) alam dari tuhan terjadi sebagai akibat aktivitas tuhan memikirkan (berta’aqul terhadap) diri-Nya. Aktivitas memikirkan itu menjadi sebab bagi pemancaran segenap alam ciptaan-Nya. Seperti pemancaran sinar dari matahari.[16] Perbedaan teori Emanasi yang dianut Platonisme Yunani dengan Emanasi Al-Farabi terletak pada asal dari pancaran tersebut. Menurut filsafat Platonisme bahwa asal pancaran itu bukanlah tuhan, akan tetapi bagi filsafat yunani tuhan bukan pencipta alam, melainkan sebagai penggerak pertama (Prima Causa). Sementara Al-Farabi menyatakan bahwa asal dari pancaran tersebut adalah Tuhan (pencipta)[17]

                   II.        Jiwa

Filsafat Plato , Aristoteles serta Plotinus, mempengaruhi Al-Farabi tentang jiwa. Jiwa menurut Al-Farabi bersifat Rohani, ia terwujud setelah adanya badan, dan ia tidak bisa berpindah-pindah dari badan kebadan yang lain.

Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, ia berasal dari alam Ilahi sementara jasad berasal dari alam khalq, berbentuk,berupa, berkadar dan bergerak. Dalam jiwa manusia mempunyai daya gerak (makan, memelihara, berkembang), daya mengetahui (merasa, imaginasi), daya berfikir (akal praktis, akal teoritis) sementara daya teoritis (akal potensial, akal aktual, akal mustafad) Mengenai keabadian jiwa, Al-Farabi membagi antara Jiwa Khalidah dan Jiwa Fana. Jiwa khalidah adalah jiwa yang mendapatkan kebahagiaan, karena ia bisa melepaskan diri dari kenikmatan jasmani, ia tidak hancur karena hancurnya jasad. Yang termasuk kelompok ini adalah akal mustafad. Sementara jiwa fana tidak sempurna, ia akan hancur seiring hancurnya jasad. Ia akan kekal, tapi dalam kesengsaraan.[18]

                 III.        Politik

Dalam pemikiran politiknya, Al-Farabi banyak terpengaruh pemikiran Platonisme disamping ia selaraskan dengan Islam.

Dalam pembahasannya mengenai Negara, Al-Farabi menyamakan Negara sama dengan Manusia, yakni seperti yang difahami bahwa Manusia memiliki organ-organ tubuh yang saling bekerja dengan baik. [19] Misalnya tangan dengan otak manusia,yang tangan diperintah oleh otak, demikian pula terkadang otak juga diatur oleh Hati yang memiliki perasaan yang mempertimbangkan baik atau buruknya. Menurutnya bahwa yang paling terpenting dari Negara adalah pemimpinnya. Oleh karena itu agar Negara menjadi baik dan maju hendaklah yang menjadi pemimpinnya adalah paling unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya. Dan ia harus memiliki kualitas-kualitas berupa kecerdasan, sehat jasmani, memiliki tutur kata yang baik, cinta pada pengetahuan, cepat tanggap, cinta akan kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, membela keadilan, dan tidak rakus serta menjauhi kelezatan-kelezatan jasmani. [20] namun dalam pemikirannya selanjutnya, karena A-Farabi ingin menselaraskan Filsafat Platonisme dengan Islam sehingga ia menambahkan sebuah syarat lagi bagi seorang pemimpin yang ideal yaitu: akal-fa’al, pemikiran Al-Farabi yang mulai memasuki alam khayalan dimana menurutnya sebuah Negara yang masyarakatnya adalah orang-orang yang suci dan kepala Negara atau pemimpin negaranya adalah seorang Nabi. Sehingga dari pemikiran ini dapatlah kita simpulakan bahwa A-farabi lebih banyak berbicara dalam hal teori dari pada relistis pragmatis, karena memang ia adalah seorang ahli fikir yang dalam.[21]

                 IV.        Akhlaq

Dalam hal ini Al-Farabi menjelaskan bahwa akhlaq itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui, maka wajar kalau masalah akhlaq adalah sesuatu yang paling banyak ditulis oleh Al-Farabi dalam berbagai kitabnya.

Dalam kitab Risalah al-Tanbih ‘ala subul al-Sa’adah dan Tahshil al-Sa’adah Al-Farabi menekankan ada empat jenis sifat utama yang harus dimiliki oleh setiap orang, untuk mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat. (1) Keutamaan Teoritis, prinsip-prinsip pengetahuan yang kita dapat  sejak awal tanpa kita tahu cara dan asalnya. Juga termasuk dengan kontemplasi, penelitian, juga melalui belajar mengajar. (2) Keutamaan Pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal bermanfaat dalam tujuan. (3) Keutamaan Akhlaq, bertujuan untuk mencari kebaikan, dan ini menjadi syarat keutamaan pemikiran. (4) Keutamaan Amaliah, dapat diperoleh dengan dua cara, pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang atau dengan cara lain yaitu dengan pemaksaan.[22]

                   V.        Teori Kenabian

Karena pada masa Al-Farabi pemikiran yang berkembang mengenai kenabian adalah menolak akan kenabian seperti pemikiran Ahmad ibn ishaq al-Ruwandi dan  Zakaria al-Razi, yang menolak akan eksistensi Kenabian[23]

Maka Al-Farabi yang memiliki pemikiran yang berbeda yakni menerima eksistensi kenabian membuat Al-Farabi mencoba melawan pemikiran tersebut. Meskipun Al-Farabi dikenal sebagai seorang yang rasionalis namun hal itu bukan berarti ia menolak eksistensi wahyu Tuhan dan Kenabian. [24]

Menurutnya Adanya Nabi dan Rasul yang diutus kedunia, bahwa pada umat manusia, akal dan potensi jiwa mereka terdapat perbedaan keunggulan dalam aktualitas dalam menangkap informasi secara utuh dan lengkap. Seperti kenyataan bahwa ada orang yang unggul dari orang lain. Dengan demikian  tidak mustahil bahwa ada orang yang hatinya mampu menerima wahyu, sementara orang lain tidak sanggup. [25] kemudian menurut Al-Farabi ciri khas seorang nabi adalah bahwa seorang Nabi mempunyai daya imaginasi yang kuat, dimana obyek indrawi diluar tidak dapat mempengaruhinya. Jadi manakala ia menerima visi kebenaran atau wahyu dari tuhan melalui aql fa’al ia mampu berkomunikasi dengan baik. Al-Farabi kembali menambahkan bahwa kemampuan seorang Nabi berhubungan dengan malaikat Jibril tanpa diawali latihan,  karena Allah telah menganugerahinya dengan kekuatan suci (Qudsiyah). Sementara filsuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal Mustafad (perolehan) yang sudah terlatih  dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menerima hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal. Dengan demikian antara nabi dan filsuf tidak sejajar tingkatannya, karena setiap nabi adalah filsuf sementara tidak semua filsuf itu nabi.[26] Karena adanya unsur pilihan. Kembali menurut Al-Farabi bahwa karena nabi dan filsuf sama-sama dapat berhubungan dengan Akal, maka antara wahyu dan filsafat tidak terdapat pertentangan.[27]

v  Kesimpulan

Demikianlah pembahasan mengenai Ibnu Farabi atau Al-Farabi dalam setiap tokoh sudah menjadi hal yang lumrah bahwa manusia memiliki kekurangan dan kelebihan. Terkadang bertindak atau berperilaku benar dan juga salah. Dalam berfikir juga demikian salah dan benar memang tidak aneh lagi jika menimpa seseorang. Karena manusia memang tidak terlepas dari salah dan lupa. Apalagi dalam masalah filsafat. Lebih tidak aneh lagi kalau seorang Filosuf berfikir salah, atau nyeleneh. Untuk itu dalam pemikiran Ibnu Farabi ini tentunya berlaku hukum tersebut yaitu ada yang salah dan ada pula yang benar. maka alangkah indahnya apa yang dikatakan Syeikh Bin Baz ketika ditanya bagaimana pandangan  beliau terhadap Dr. Sayyid Qutb, maka Syeikh Bin Baz menjawab dengan kata-kata beliau yang indah; “Setiap manusia tidak akan terlepas dari benar dan salah. Maka yang benar dari beliau (Sayyid Qutb) maka ambilah, jika itu salah maka tinggalkanlah”.

v  Daftar Pustaka

Aceh, Abu Bakar, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, Cet. II,  1982.

Dahlan, Abdul Aziz Pemikiran Filsafat dalam Islam, Padang: IAIN IB PRESS, 2000,

Drajat, Amroeni “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006

Hanafi, Ahmad, “Pengantar Filsafat Islam,” Bulan Bintang, Jakarta: cet.VI , 1996

Jamia’ah Arraniry,Proyek pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain ,“Filsafat Islam” 

Nasution, Hasyimsyah, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III,  2002.

Nasution,Harun, “Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam”, Jakarta: Pt Bulan Bintang, Cet. X, 1999

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
[1] Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet. III,  Hal. 32

[2] Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Iain Jamia’ah Arraniry, “Filsafat Islam” ,Hal. 35

[3] “Ibid”., Hal. 35

[4] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. VI, Hal. 82

[5] Hasyimsyah Nasution. “Op. Cit”., Hal. 33

[6] Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 42

[7] “Ibid”., Hal. 42-43

[8] Abu Bakar Aceh, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, 1982. Cet 2. Hal 51

[9] Iain Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”.,Hal. 45

[10] Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal.90

[11] Amroeni Drajat, “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006, Hal. 32

[12] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 36

[13] Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal. 91

[14]  Ia Mengambil Teori Plotinus Yang Mengatakan Bahwa ‘’Dari Yang Satu (Tuhan) Hanya Satu Saja Yang Melimpah’’. Berdasarkan Itu Maka Masalahnya Adalah Alam Ini Dijadikan Secara Tidak Langsung, Karena Sukar Difahami Jika Alam Yang Beraneka Ini Dijadikan Langsung Karena Dapat Menyentuh Keesaan Tuhan. Jami’ah Arraniry, “Op. Cit”., Hal. 52

[15] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 37

[16] Abdul Aziz Dahlan, “Pemikiran Filsafat Dalam Islam”, Padang: Iain Ib Press, 2000, Cet. II, Hal. 65

[17]  “Ibid”

[18] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 40

[19] Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Pt. Bulan Bintang, 1999, Cet X, Hal. 26

[20] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 41

[21] Ahmad Hanafi, “Op. Cit”., Hal. 97.  Lihat Pula H.M. Rasyidi Dkk, “Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat,” Jakarta: Pt.Bulan Bintang., 1988, Cet. I, Hal. 120

[22] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 43

[23] “Ibid”., Hal. 44

[24] Abdul Aziz Dahlan, “Op. Cit”., Hal. 73

[25] “Ibid”., Hal. 74

[26] Hasyimsyah Nasution, “Op. Cit”., Hal. 44

[27] “Ibid”., Hal. 44