Selasa, 01 Desember 2009

AR-RAZI DENGAN CORAK FILSAFATNYA



Sulhan Akbar

A.    Pengantar

Untuk mengetahui karakter serta watak seorang tokoh perubahan tentunya kita membutuhkan metode untuk mempermudah mengenal serta menganalisis cara piker dari suatu tokoh. Dua metode yang fundamental untuk memperoleh pengetahuan tentang sejarah orang-orang besar dan kedua metode itu harus dipergunakan secara bersama-sama untuk memperoleh hasil yang maksimal[1]. Cara yang pertama adalah dengan mempelajari dan meneliti karangan-karangan intelektual dan ilmiah dari orang yang kita teliti, teori-teorinya, kuliyah-kuliyahnya, kitab-kitab yang ditulisnya atau dengan kata lain meneliti pikiran serta keyakinannya. Adapun cara yang kedua adalah penelitian tentang biografinya sejak dari pertumbuhan sampai akhirnya.

Kita harus berterimakasih kepada Filusuf Muslim masa silam yang telah menghasilkan pemikiran-pemikiran cemerlang pada masanya, dan kita harus bisa menghargai dan menempatkan pada tempat yang semestinya hasil-hasil dari pemikiran mereka, namun kita harus ingat bahwa Filsafat bukanlah hal yang mutlak, kita wajib mengkaji warisan pemikiran filosop teradahulu dengan kritis dan mampu memilah dan memilih mana yang islami dan mana yang tidak. Al-Quran adalah sumber Filsafat Islam yang Universal dan tidak akan pernah kering sepanjang zaman. Al-Qur’an sebagai tolak ukur untuk bisa menilai baik dan buruk, benar dan salah serta al-Qur’an tidak akan pernah bertentangan dengan akal yang salim (sehat), Setiap akal yang sehat, akan bersih dari syubhat, karena sesunguhnya akal tersebut bersesuaian dengan naql (teks wahyu) yang shohih dan sharih.[2]

B.     Biografi tokoh

Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria Ibn Yahya  al-Razi atau  akrab disapa dengan nama Al-Razi, di Barat dikenal dengan nama Rhazes yang dilahirkan dan di besarkan di daerah Rayy (suatu daerah dekat Taheran persia) dan sekaligus tempat dimana dia meninggal. Ia di lahirkan  pada tanggal 1 sya’ban 251  H/865 M, pada zaman kejayaan Abbasiyah dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 7 Oktober 925 M.   waktu mudanya ia adalah seorang tukang intan dan suka akan music (kecapi).  Selain itu ia juga sangat respek untuk mendalami dan mengeluti berbagai khasanah keilmuan seperti ilmu kimia, ilmu kedokteran  dan dia juga tertarik untuk bergelut dibidang Filsafat Agama, dan dengan latar belakang pendidikan serta khazanah keilmuan yang dalam dan luas terutama dalam bidang kedokteran, didaerah kelahirannya Al-razi dikenal sebagai dokter yang sekaligus dipercayakan untuk  memimpin Rumah sakit di Rayy. Ar-razi memiliki penemuan-penemuan besar dibidang dokter dan kimia, ia menguasai masalah-masalah kedokteran, dan dia juga diaku bahwa dia tidak hanya mempelajari kedokteran Arab, Yunani serta ilmu-ilmu muslim lainnya, melainkan ia menambah pengalamannnya dengan mempelajari kedokteran india.

Adapun metode pengembangan penyampaian pemikirannya adalah bersisitem pengembangan daya intelektual, ketika ada pertanyaan maka pertanyaaan itu tidak langsung dijawabnya melainkan dilempar kepada murid-murid yang lain. Al-Razi termasuk orang yang aktif berkarya dan telah mendalami banyak bidang ilmu, adapun  buku-buku yang pernah ditulisnya mencangkup ilmu kedokteran, Ilmu Fisika, logika, matematika dan astronomi, komentar-komentar, ringkasan dan ikhtisar, filsafat dan banyak lainnya.

Philip Hitti adalah seorang ilmuan  yang pernah memberikan komentar  kepada al-Razi dalam “History of The Arab”; bahwa al-Razi adalah seorang dokter  yang paling besar  dan paling orisinal dari seluruh dokter muslim  dan juga seorang penulis yang produktif. Selain sebagai ahli dalam ilmu kedokteran Al-Razi memiliki cara berfikir dan pendapat yang berlainan  dengan filusuf-filusuf Islam lainnya, dan perbedaaan yang paling ekstrim yang dimiliki Al-Razi adalah tidak mengakui adanya wahyu dan adanya nabi. Dengan  tidak mengakui sumber-sumber pengetahuan lain seperti wahyu dan adanya nabi maka tidak heran kalau karya-karyanya lebih banyak mendapat kecaman dari pada dipelajari oleh filusuf-filusuf islam yang lain[3].

C.     Pokok-pokok pikiran

Ø    Metafisika

Ajaran Filsafat al Razi dikenal dengan istilah ajaran lima yang kekal , Prof. Dr.  Harun Nasution dalam bukunya “filsafat dan mistikisme dalam islam”  menjelaskan tentang lima ajaran  kekal tersebut, antara lain:[4]

1.      Allah ( al-Bari ta’ala) Tuhan pencipta yang maha tinggi dan maha sempurna.

Allahlah yang menciptakan dan mengatur seluruh Alam, Allah menciptakan Alam bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada, karena itu alam semestinya  tidak kekal sekalipun materi pertama kekal  sebab penciptaan disini dalam arti disusun  dari bahan yang telah ada. Ada tiga teori yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang mendukung keberadaan tuhan, pertama : Paham yang mengatakan alam semesta ini ada dari yang tidak ada, ia terjadi dengan sendirinya, Kedua: Alam semesta ini berasal dari sel yang merupakan inti, Ketiga: Alam semesta ini ada yang menciptakannya.[5]



2.      Roh (An-Nafsul kuliyyah )

Roh atau jiwa adalah merupakan sumber kekal yang kedua, hanya saja ia tidak seMaha dengan Tuhan, karena ia terbatas dan tentu saja dengan keterbatasannuya itu membutuhkan Tuhan. Hal itu terlihat ketika jiwa, tertarik dengan materi pertama yang juga kekal. Untuk memenuhi hal itu, Tuhan membantu jiwa dengan membentuk alam ini (termasuk manusia) melalui materi pertama dengan susunan yang kuat, sehingga jiwa dapat mencari kesenangan didalamnya. sekaligus melengkapinya dengan akal agar ia tidak memperturutkan hawa nafsu

3.      Materi ( Al-Hayulal  Ula) Apa yang ditangkap panca indra tentang benda

ia adalah substansi yang kekal, terdiri dari atom-atom. Ia kekal dan nantinya akan menjadi bahan terbentuknya alam. Didalam prosesnya materi yang paling padat akan menjadi substansi bumi, yang lebih renggang dari pada unsur bumi akan menjadi air, yang  lebih renggang dari air akan menjadi udara, dan berikutnya api.[6]



4.      Ruang (Al-Makanul Mutlaq)

Menurut al-Razi, ruag adalah tempat keberadaan materi, kalau materi dikatakan kekal maka dia membutuhkan ruang yang kekal pula.  Bagi al-razi ruang terbagi menjadi dua yakni ruang Universal (Mutlak) adalah ruang yang tidak terbatas dan tidak tergantung kepada dunia dan segala yang ada didalamnya. Sedangkan ruang tertentu (relatif) adalah sebaliknya.

5.      Waktu (Az-Zamanul Mutlaq)

  Waktu menurut Ar Razi adalah subtansi kekal yang mengalir. Dimana ia dibagi manjadi dua yaitu   waktu relative (terbatas) dan waktu Universal (mutlak).  Waktu relatif (al mahsur/alwaqt), Ini bersifat partikular dan tidak kekal karena ia bergantung pada gerak falak, terbit dan tenggelamnya matahari. Sedangkan Waktu  Universal (al-dahr), Inilah zaman yang tidak memiliki awal dan akhir. Ia terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta dan gerakan falak.

Harun Nasution  dalam bukunya “Falsafat dan Mistisme”  menjelaskan bahwa menurut al-Razi, dari lima yang kekal itu ada dua yang hidup, dan aktif atau bergerak  yaitu Tuhan dan Jiwa atau Roh,  satu darinya tidak hidup dan pasif yaitu materi, dan dua lagi yang tidak  hidup, tidak bergerak dan tidak pula pasif  yakni ruang dan waktu[7]. Filsafat al-Razi sebenarnya diwarnai oleh doktrinnya tentang lima ajaran tentang kekekalan tersebut dan kelima hal inilah yang  merupakan landasan  ajaran Filsafat yang dibawa oleh al-Razi. Menurut Dr.T.J. De Beor bahwa dasar-dasar metafisika ar-razi berasal dari doktrin-doktrin tua seumpama pemikiran-pemikiran Anaxagoras, Empedokles, Mani dan lain-lainnya. Dan puncak dari metafisika itulah Prinsip tentang lima yang Abadi (Five Coenternal prinsiples).[8]

Ø  Moral

Terkait dengan filsafat al-Razi tentang moral, dalam bukunya “al Thib al Ruhani dan al Sirah al Falsafiyyah”  al-Razi memiliki pandangan bahwa moral harus berdasarkan petunjuk rasio. Dengan demikian hawa nafsu mesti diletakkan dibawah akal dan kendali agama, agar ia tidak melanggar larangan-larangan Agama. Berkaitan dengan jiwa, Al-Razi mengharuskan seorang dokter untuk mengetahui dan menguasai kedokteran jiwa, (al-Thibb al-Ruhani) dan kedokteran tubuh (al-Thibb al-Jasmani) secara bersamaan karena manusia membutuhkan hal itu secara bersama-sama pula. Hal ini menunjukkan bahwa antara keduanya memiliki korelasi yang segnifikan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Al-Razi juga mengutuk akan cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada hawa nafsu, cinta menjadikan seseorang lupa akan dirinya dan tidak bisa berpikir secara rasional.



Ø  Kenabian

Al-Razi menyanggah anggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia membutuhkan nabi serta wahyu yang diturunkan kepada manusia sebagai aturan serta pedoman dalam menselaraskan keterbatasan akal.  Akal menurut al-Razi adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia, dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat yang sebanyak-banyaknya bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan,  karena itu manusia tidak boleh menyia-nyiakan akal  serta mengekang ruang gerak akal,  akan tetapi memberi kebebasan sepenuhnya dalam segala hal. Dari pandangan tersebutlah yang menjadikan al-Razi tidak percaya kepada wahyu dan adanya Nabi  seperti yang dijelaskan dalam kitabnya” Naqd al-Adyan au fi al-Nubuwwah” (Kritik terhadap agama-agama dan nabi).[9]  Al-Razi juga tidak hanya mengkritisi injil dan kitab suci lainnya, bahkan ia juga mengkritisi al-Qur’an berikut kemu’jizatannya.

Al-Razi adalah termasuk seorang Rasionalis murni, ia hanya mempercayai terahadap kekuatan akal dan menjadikan akal diatas segala-galanya. Al-Razi memiliki pandangan bahwa Ilmu  penegetahuan berasal dari tiga sumber yaitu  pemikiran yang didasarkan pada logika, Tradisi dari para pendahulu kepada para pengganti yang didasarkan pada bukti menyakinkan dan akurat seperti dalam sejarah dan  yang menuntun manusia tampa memerlukan banyak pemikiran[10]. Akal sudahlah cukup untuk mencerahi dan membimbing manusia pada kebenaran. Karena itu kenabian adalah sesuatu yang berlebihan. Karena dalam sejarah, kenabian dan kalam wahyu atau ajaran-ajaran yang dibawanya telah mengobarkan semangat peperangan diantara para pemeluk kitab suci yang bersifat keagamaan[11].



D.    Kesimpulan

Al-Razi mengakui akan adanya Tuhan namun tidak mengakui adanya wahyu serta nabi yang diutusnya, dan sebaliknya dia mempercayai kemajuan dan pemikiran manusia dan menjadikan akal sebagai tolak ukuran untuk menilai baik dan buruk,  benar dan jahat, atau berguna dan tidak berguna. A. Mustofa dalam bukunya “filsafat Islam” menjelaskan bahwa Sehubungan dengan adannya penolakan terhadap wahyu dan kenabian serta tidak mengakui adanya semua agama, maka dia dipandang dari segi teologi Islam adalah belum muslim karena keimanan yang dipeluknya tidak konsekuen. Dan tidak juga dikatakan seoran atheis karena ia masih tetap menyakini akan adanya Tuhan yang maha kuasa dan pencipta dan ia lebih tepat disebut seorang “ Rasionalis murni”.  Dalam banyak kitab, kita temukan bahwa al-Razi termasuk diantara pemikir-pemikir islam dan dokter-dokter orang islam yang tiada tanding[12].dalam bidang filsafat dia dikenal sangat kritis terhadap pandangan-pandangan dan tradisi orang lain dilingkungannya, dengan kritisnya dalam pandangan filsafat dia digolongkan sebagai muslim yang memproduksi filsafat Islam. Dalam karya yang lain yang berjudul “baar al-sa’ah dan sirr al-asrar”, al-Razi menulis sebuah ungkapan “ Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada ciptaannya yang terbaik, nabi Muhammad dan keluarganya”, dan masih ada lagi catatan-catatan yang lain, yang mana dari catatan ini menunjukkan bahwa al-Razi benar-benar seorang Filusuf Muslim.[13]

E.     Referensi



Ø  Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat pengetahuan Islam, Jakarta : UI Press, Cet ke 1, 1985

Ø  Ali,H.A.Mukti, Metode memahami Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet ke1, 1991

Ø  Drs. H. A. Mustofa,  Filsafat Islam,  Bandung : Pustaka Setia, Cet ke 1, 2004

Ø  Dr. HasyimSyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama , 1999

Ø  Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam. Sebuah peta kronologis. terjm.Mizan. Bandung; 2002. Cet 2

Ø  Yusril Ali, Perkembangan pemikiran Filsafat dalam Islam, Jakarta : Bumi aksara, cet ke-1

Ø  Drs.Atang Abd Hakim dan Dr.Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Cet ke 3, 2000.

Ø  Amroeni Drajat, Filsafat Islam, Jakarta : Erlangga, cet ke 1.





[1] Ali,H.A.Mukti, Metode memahami Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet ke1, 1991, hal 33

[2] Perkataan Ibnu Taymiyah yang dikutip dalam kitab al-Manhaj al-Ma’rifi ‘inda ibnu Taymiyah

[3] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat pengetahuan Islam, Jakarta : UI Press, Cet ke 1, 1985,  ha 46

[4] Miska Muhammad Amien, ibid hal 46

[5] Drs.Atang Abd Hakim dan Dr.Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Cet ke 3, 2000, hal 111

[6] Hasyim Syah mengutip Ibnu Muhammad Zakariya Ar Razi dalam bukunya Al Thib al Ruhani al Latif  al Ghaid.

[7] HasyimSyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama , 1999, Hal 26

[8] Yusril Ali, Perkembangan pemikiran Filsafat dalam Islam, Jakarta : Bumi aksara, cet ke-1, hal 38

[9] HasyimSyah Nasution,  Ibid hal 30

[10] A. Mustofa,  Filsafat Islam, op.Cit  hal 124

[11] Majid Fakhri. Sejarah Filsafat Islam. Sebuah peta kronologis. terjm.Mizan. Bandung; 2002. Cet 2. hal.38

[12] HasyimSyah Nasution, Filsafat Islam, hal 32

[13]  Amroeni Drajat, Filsafat Islam, Jakarta : Erlangga, cet ke 1, hal 25

0 komentar:

Posting Komentar