This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 01 Desember 2009

ZIKIR, SAMA’ DAN FANA’



M.Sulhan Akbar

                   I.            Devinisi

a.             Devinisi Zikir serta Zikir dalam perspektif al-Ghazali

Zikir secara etimologi atau bahasa artinya mengingat, sedangkan menurut istilah adalah memabasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian dan pengagungan kepada Allah Swt[1]. Dalam pandangan al-Ghazali, zikir kepada Allah merupakan hiasan kaum sufi dan sebagai salah satu syarat bagi orang yang menempuh  jalan Allah, dengan zikir hati bisa menjadi tenang, Sebab syarat utama dalam menempuh jalan Allah Swt adalah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah, menenggelamkan hati secara total dengan zikir kepada Allah dan fana (lebur) dengan Allah Swt.[2]

Terkait dengan fungsi zikir, imam al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya’ Ulum Addin” menjelaskan bahwa dengan  zikir hati menjadi tenang, zikir juga bisa mendatangkan ilham, menghalangi ruang gerak setan sehingga setan menjauh dari hati manusia dan dalam kondisi itulah malaikat memberikan ilham kedalam hati manusia.[3] Dalam risalah al-Qusyairiyah dijelaskan  bahwa zikir  adalah rukun  (tiang) yang paling kuat sebagai jalan menuju Allah  swt,  atau bahkan saka  guru tarekat  mengatakan bahwa seseorang tidak akan bisa sampai kepada Allah bila tidak menjalankan zikir secara tetap.[4]

Pentingnya zikir untuk mencapai pengalaman ketuhanan  didasarkan pada argumentasi tentang peranan zikir  bagi hati atau qalbu yang menjadi instrumen ma’rifatullah.  Hati manusia menurut imam al-Gazali (Ihya’ Ulumuddin) tidak ubahnya seperti telaga yang di dalamnya mengalir bermacam-macam air, baik dari dalam maupun dari luar, artinya pengaruh– pengaruh yang datang ke dalam hati ada kalanya dari luar seperti panca indra, dan adakalanya dari dalam seperti hayal, syahwat, amarah dan akhlak atau tabiat manusia.[5]

Simuh dalam bukunya  “Tasawuf dan perkembangannya dalam islam” mengutip pada kitab al-hikam bahwa zikir adalah sebuah pintu yang paling besar untuk mencapai fana’ dan ma’rifah pada Allah, maka masukilah dan sertailah setiap keluar masuknya nafadz dengan zikir. Zikir dalam ajaran Tasawuf merupakan pintu gerbang utama untuk mencapai penghayatan ma’rifat kepada Allah, oleh karena itu dalam ajaran Tasawuf, tata cara zikir dan aturan-aturan wiridnya menjadi peranan yang sentral yang mewarnai dan menjadi ciri-ciri pembeda antara satu tarekat dengan tarekat yang lain.[6]

Zikir menurut tuntunan syariat Islam dan al-Qur’an adalah menyebut nama dan mengingat Allah Swt dalam setiap keadaan, yang bertujuan untuk menjalin ikatan batin (kejiawaan) antara hamba dengan Allah sehingga timbul rasa cinta dan jiwa muraqabah (merasa dekat dan merasa di awasi oleh Allah Swt).[7]  Senada dengan apa yang dijelaskan oleh Hasan al-Banna bahwa zikir menurut ketentuan syar’i  adalah zikir yang menyebut nama Allah dengan membaca tasbih, tahlil, takbir, Istigfar, membaca al-Qur’an, membaca do’a yang matsur, selain itu juga majlis-majlis yang diadakan untuk Da’wah Islamiyah. [8]Terkait dengan hal demikian Allah Swt berfirman:

$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#râè0øŒ$# ©!$# #[ø.ÏŒ #ZŽÏVx. ÇÍÊÈ   çnqßsÎm7y™ur Zotõ3ç/ ¸x‹Ï¹r&ur ÇÍËÈ 

“  Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.”

 ( Al-ahzab 41-42 )

Hal ini tentunya jauh berbeda dengan ajaran tasawuf, karena tekanan ajaran tasawuf adalah untuk mencapai penghayatan fana’ dan ma’rifat atau bahkan ada yang ingin mencapai penghayatan bersatu dengan Allah. Maka zikir dalam Tasawuf di jadikan wasilah atau tangga untuk mencapai penghayatan fana’ dan ma’rifat.

b.             Sama’

Secara etimologi sama’ artinya pendengaran, menerima wahyu, melakukan panduan suara. Dalam ajaran tasawuf di tunjukkan dengan nada-nada musik rohani, sedangkan sama’iyyah di artikan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan akherat atau hal yang ghoib.[9]

Adapun secara terminology mengutip istilah Ibnu Ajibah Al-Husni bahwa, Sima’atau sama’ adalah mendengarkan syair-syair dengan melodi dan musik. Simak sering di wujudkan dalam bait-bait syair, lagu-lagu, Hymne-hymne, kasidah-kasidah, puisi-puisi cinta yang dilakukan dengan suara merdu dan dinyayikan dengan melodi-melodi dan suara bersama alat-alat musik, Sehingga dalam konteks Sufi, Sama’ artinya segala sesuatu  yang berhubungan dengan musik atau nyanyian yang dimaksudkan untuk peningkatan Rohani dan penyucian diri....[10] Ihsan ilahi dalam bukunya (Darah Hitam Tasawuf) mengutip perkataan Ibnu Ajibah al-Husni bahwa Sima’ adalah mendengarkan syair-syair dengan melodi dan music, dan sima’ tersebut di jadikan sebagai salah satu kebutuhan tasawuf. Bahkan orang Sufi mengatakan sima’ adalah cahaya santapan rohani bagi orang-orang kalangan sufi dikarenakan sima’ adalah sebagai penggambaran lembut tentang seluruh perbuatan dan dengannya watak bisa diketahui.[11]

Orang sufi berpandangan  bahwa untuk mengantarkan sufi ke maqam muhabbah diperlukan sama’ (mendengar bunyian-bunyian merdu) karena dengan cara itu dapat menggerakkan rasa mahabbah dalam qalbu. Dalam buku Darah hitam Tasawuf ditegaskan bahwa sima’ mempunnyai kedudukan tinggi dalam pandangan orang-orang sufi yang menyaingi kedudukan al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah Swt sebagai petunjuk untuk manusia, rahmat dan obat bagi orang-orang beriman.[12]

Imam alGazali  dalam memberikan rumusan tentang etika dalam sama’, setidaknya dapat disimpulkan dalam pernyataan beliau.

a.         Dalam melakukan proses sama’ hendaknya memperhatikan waktu, tempat dan orang-orang.

b.        Mendengarkan secara serius apa saja yang di katakan oleh penyayi, menghadirkan hati, sedikit menoleh kesamping dirinya dan menghindari pekerjaan yang tidak bermanfaat

c.         Jika dalam melakukan proses sima’ bisa membahayakan seorang syaikh atau murid, maka syaikh tidak selayaknya mendengarkan simak teresebut bersama muridnya.

d.        Seorang sufi tidak meninggikan suara dan harus mengendalikan diri sebisa mungkin.

e.       Menyesuaikan diri dengan para pendengar sima’ lainya.[13]

Bagi Ibnu Taimiyah, cara sama’ yang ditempuh kaum sufi hanya akan membawa sufi ke mahabah yang  semu, karena satu-satunya sarana ke maqam mahabbah adalah ketaatan kepada Allah Swt yang sekaligus akan mendatangkan kebahagiaan yang sempurna[14]. Sama’ di kalangan sufi berbeda dengan sama’ para nabi (sama’ an-ambiya). sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an.

4 #sŒÎ) 4’n?÷Gè? ÷LÏiø‹n=tæ àM»tƒ#uä Ç`»uH÷q§9$# (#r”yz #Y‰£Úß™ $|‹Å3ç/ur ) ÇÎÑÈ 

“apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” ( Maryam: 58 )

c.              Fana’

Dari segi bahasa fana berasal dari kata faniyah yang berarti musnah dan lenyap. sedangkan secara terminologi sebagaimana yang di kutip oleh simuh  bahwa fana’ atau ecstasy adalah proses beralihnya kesadaran dari alam indrawi ke alam kejiwaan atau alam batin.[15] Al-Fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi bahwa al-Fana’ adalah hilangnya daya kesadaran qalbu  dari hal-hal yang bersifat indrawi karena adanya sesuatu yang di lihatnya. situasi demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat dan berlangsung terus silih berganti sehingga tidak ada lagi yang disadari dan di rasakan oleh indra.[16]

Menurut Ibnu Taimiyah, al-Fana’ yang berkembang dikalangan kaum sufi terbagi dalam tiga bentuk, ketiga bentuk tersebut antara lain:

1.      Peleburan kehendak dan pengabdian diri kepada selain Allah, dimana kehendaknya menurut batas-batas kehendak tuhan dan tidak ada ke inginan selain keinginan Tuhan, tingkatan fana’ seperti ini adalah tingkatan para Rasul, ambiya dan lainnya,

2.      Peleburan kesaksian selain Allah, artinya pudarnya kesaksian seseorang terhadap sesuatu selain Allah Swt, yang kadang di akibatkan oleh kehanyutan hati dan kontinyuitas dalam dzikir dan ibadah.

3.      Peleburan wujud selain Allah, yang merupakan fana’ yang bisa mengantarkan pada situasi hulul dan al-ittihad.[17]

Bentuk Fana’ yang pertama kadang disebut peleburan ibadah kepada selain Allah, padahal kedua fana’ tersebut saling mengisi satu sama lain dan inilah sifat Fana’ yang terpuji. Fana tersebut bukanlah sebuah tujuan atau syarat untuk mencapai suatu tujuan, akan tetapi bertujuan untuk melebur ibadah kepada selain Allah dan melebur kehendak selain Allah, peleburan kehendak dan pengabdian diri kepada selain Allah merupakan perwujudan makna kalimat syahadat, hal ini merupakan realisasi makna firman Allah” hanya kepadamulah kami menyembah dan hanya kepadamulah kami meminta pertolongan”.[18]



                II.            Korelasi antara zikir, fana’ dan Sama’

Fungsi zikir dalam pandangan sufi sangat erat hubungannya dengan tercapainya kefanaan dan kema’rifatan. Karena salah satu jalan untuk mencapai fana’ (ectasy) disamping mendalamnya cinta rindu adalah dengan meditasi (pemusatan pikiran) dengan perantara dzikir. karena menurut kaum sufi zikir merupakan pintu yang paling besar untuk mencapai fana’ dan ma’rifatullah.  Disamping menggunakan wasilah dengan zikir atau meditasi, para sufi menemukan jalan atau cara lain yang dapat mengantarkan dirinya ke dalam al-Fana’, hal ini terjadi setelah abad ke sembilan, dimana antara ordo-ordo terekat kemudian mempergunakan musik, nyanyian dan tari-tarian untuk mempercepat tercapainya penghayatan yang dinamakan fana’ (ecstasy). Semua ini kemudian di istilahkan oleh orang sufi dengan sebutan sama’. Praktek sama’ ini secara formal cepat menyebar dalam kalangan para sufi yang memancing perselisihan pendapat yang cukup tajam.[19]

             III.            Kesimpulan

Setiap orang pada dasarnya membutuhkan suatu pengetahuan   dan petunjuk untuk mencapai kebenaran, sedangkan zikir kepada Allah merupakan instrumen yang akan mendatangkan hidayah Allah. Dzikir, sama’ dan Fana’ adalah bagian dari rentetan ritual peribadatan yang yang di praktekkan dalam ajaran Islam  dan ajaran tasawuf atau sufi pun memiliki istilah yang sama dalam hal demikian. Namun itu hanyalah sebatas persamaan lafadz, arti dan esensinya mengalami garis pembatas yang sangat jauh dari nilai-nilai keislaman.

Dan pada umumnya tujuan dari semua kehidupan tasawuf seorang sufi adalah untuk mencapai penyatuan dengan tuhan yang disebut dengan fana’. Karena fana’ adalah puncak dari penghayatan shufiyah, sehingga datang kefanaan yang  merupakan salah satu tingkatan yang sangat dinantikan oleh kaum sufi. Adapun salah satu jalan untuk mencapai penghayatan fana’ disamping mendalami rasa cinta rindu adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran dengan cara zikir). Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa zikir atau meditasi menurut ajaran taasawuf, pada hakekatnya berusaha mengalihkan kesadaran terhadap dunia luar (materi) untuk di pusatkan ke dalam batin. Ketika usaha tersebut berhasil, maka seorang hamba akan mendapatkan keanugrahan dan ia dapat membuka alam ghoib, kemudian berpusatnya seluruh kesadaran dalam batin, yang menyebabkan kesadaran terhadap luar menjadi lenyap, dalam kalangan sufi dikenal dengan istilah al-Fana’.

             IV.            Referensi

v  Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf,Surabaya :Stain Press Kudus, 2007, cet 1

v  Simuh,  Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam, jakarta : PT Raja Grafindo persada, 1996, cet 1

v  M.Sholihin dan Rosihun Anwar, Kamus Tasawuf, Bandung :PT Remaja Rosda karya, 2002, Cet 1

v  Ihsan Ilahi Dzahir, Darah Hitam Tasawuf, Jakarta: Darul Falah, 2001, cet 2

v  Syeikh Fadhullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, Jakarta: Lentera, 2000, cet 3

v  Abdul Qadir Djaelani, Koreksi terhadap ajaran tasawuf, jakarta: Gema Insani Press, 1996, cet 1

v  Rivay siregar, Tasawuf dari sufisme klasik dan new sufisme, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2002, cet 2

v  Muhammad As-Sayyid al-Galind, Tasawuf dalam pandangan al-Qur’an dan as-Sunnah, terj. Muhammad Abdullah al-amiry, Jakarta: Cendekia, 2003, cet 1





[1] . Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf,Surabaya :Stain Press Kudus, 2007, cet 1, hal 245

[2].  Ibid

[3] . ibid hal 246

[4] . Simuh,  Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam, jakarta : PT Raja Grafindo persada, 1996, cet 1, hal 109

[5] . Pemberontakan Tasawuf, Op. Cit, hal 245

[6] . Simuh,  Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam, jakarta : PT Raja Grafindo persada, 1996, cet 1, hal.113

[7] . Ibid, hal 114

[8]. Abdul Qadir Djaelani, Koreksi terhadap ajaran tasawuf, jakarta: Gema Insani Press, 1996, cet 1, hal. 210

[9] . M.Sholihin dan Rosihun Anwar, Kamus Tasawuf, Bandung :PT Remaja Rosda karya, 2002, Cet 1, hal.185

[10] . Syeikh Fadhullah Haeri, Belajar Mudah Tasawuf, Jakarta: Lentera, 2000, cet 3, hal 87

[11] . Ihsan Ilahi Dzahir, Darah Hitam Tasawuf, Jakarta: Darul Falah, 2001, cet 2, hal. 168

[12] . Ibid,  hal 171

[13] . M.Sholihin dan Rosihun Anwar, Kamus Tasawuf, Bandung : PT Remaja Rosda karya, 2002, Cet 1, hal. 180

[14] . Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, Surabaya :Stain Press Kudus, 2007, cet 1, hal.123

[15]. Simuh, op.cit, hal. 103

[16] Rivay siregar, Tasawuf dari sufsme klasik dan new sufisme, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2002, cet 2, hal 146

[17] . Muhammad As-Sayyid al-Galind, Tasawuf dalam pandangan al-Qur’an dan as-Sunnah, terj. Muhammad Abdullah al-amiry, Jakarta: Cendekia, 2003, cet 1, hal 151

[18] . Ibid, hal 155

[19] , Simuh,  Tasawuf dan perkembangannya dalam Islam, Op.Cit, hal. 112

AR-RAZI DENGAN CORAK FILSAFATNYA



Sulhan Akbar

A.    Pengantar

Untuk mengetahui karakter serta watak seorang tokoh perubahan tentunya kita membutuhkan metode untuk mempermudah mengenal serta menganalisis cara piker dari suatu tokoh. Dua metode yang fundamental untuk memperoleh pengetahuan tentang sejarah orang-orang besar dan kedua metode itu harus dipergunakan secara bersama-sama untuk memperoleh hasil yang maksimal[1]. Cara yang pertama adalah dengan mempelajari dan meneliti karangan-karangan intelektual dan ilmiah dari orang yang kita teliti, teori-teorinya, kuliyah-kuliyahnya, kitab-kitab yang ditulisnya atau dengan kata lain meneliti pikiran serta keyakinannya. Adapun cara yang kedua adalah penelitian tentang biografinya sejak dari pertumbuhan sampai akhirnya.

Kita harus berterimakasih kepada Filusuf Muslim masa silam yang telah menghasilkan pemikiran-pemikiran cemerlang pada masanya, dan kita harus bisa menghargai dan menempatkan pada tempat yang semestinya hasil-hasil dari pemikiran mereka, namun kita harus ingat bahwa Filsafat bukanlah hal yang mutlak, kita wajib mengkaji warisan pemikiran filosop teradahulu dengan kritis dan mampu memilah dan memilih mana yang islami dan mana yang tidak. Al-Quran adalah sumber Filsafat Islam yang Universal dan tidak akan pernah kering sepanjang zaman. Al-Qur’an sebagai tolak ukur untuk bisa menilai baik dan buruk, benar dan salah serta al-Qur’an tidak akan pernah bertentangan dengan akal yang salim (sehat), Setiap akal yang sehat, akan bersih dari syubhat, karena sesunguhnya akal tersebut bersesuaian dengan naql (teks wahyu) yang shohih dan sharih.[2]

B.     Biografi tokoh

Abu Bakar Muhammad ibnu Zakaria Ibn Yahya  al-Razi atau  akrab disapa dengan nama Al-Razi, di Barat dikenal dengan nama Rhazes yang dilahirkan dan di besarkan di daerah Rayy (suatu daerah dekat Taheran persia) dan sekaligus tempat dimana dia meninggal. Ia di lahirkan  pada tanggal 1 sya’ban 251  H/865 M, pada zaman kejayaan Abbasiyah dan meninggal dunia pada tanggal 5 Sya’ban 313 H/ 7 Oktober 925 M.   waktu mudanya ia adalah seorang tukang intan dan suka akan music (kecapi).  Selain itu ia juga sangat respek untuk mendalami dan mengeluti berbagai khasanah keilmuan seperti ilmu kimia, ilmu kedokteran  dan dia juga tertarik untuk bergelut dibidang Filsafat Agama, dan dengan latar belakang pendidikan serta khazanah keilmuan yang dalam dan luas terutama dalam bidang kedokteran, didaerah kelahirannya Al-razi dikenal sebagai dokter yang sekaligus dipercayakan untuk  memimpin Rumah sakit di Rayy. Ar-razi memiliki penemuan-penemuan besar dibidang dokter dan kimia, ia menguasai masalah-masalah kedokteran, dan dia juga diaku bahwa dia tidak hanya mempelajari kedokteran Arab, Yunani serta ilmu-ilmu muslim lainnya, melainkan ia menambah pengalamannnya dengan mempelajari kedokteran india.

Adapun metode pengembangan penyampaian pemikirannya adalah bersisitem pengembangan daya intelektual, ketika ada pertanyaan maka pertanyaaan itu tidak langsung dijawabnya melainkan dilempar kepada murid-murid yang lain. Al-Razi termasuk orang yang aktif berkarya dan telah mendalami banyak bidang ilmu, adapun  buku-buku yang pernah ditulisnya mencangkup ilmu kedokteran, Ilmu Fisika, logika, matematika dan astronomi, komentar-komentar, ringkasan dan ikhtisar, filsafat dan banyak lainnya.

Philip Hitti adalah seorang ilmuan  yang pernah memberikan komentar  kepada al-Razi dalam “History of The Arab”; bahwa al-Razi adalah seorang dokter  yang paling besar  dan paling orisinal dari seluruh dokter muslim  dan juga seorang penulis yang produktif. Selain sebagai ahli dalam ilmu kedokteran Al-Razi memiliki cara berfikir dan pendapat yang berlainan  dengan filusuf-filusuf Islam lainnya, dan perbedaaan yang paling ekstrim yang dimiliki Al-Razi adalah tidak mengakui adanya wahyu dan adanya nabi. Dengan  tidak mengakui sumber-sumber pengetahuan lain seperti wahyu dan adanya nabi maka tidak heran kalau karya-karyanya lebih banyak mendapat kecaman dari pada dipelajari oleh filusuf-filusuf islam yang lain[3].

C.     Pokok-pokok pikiran

Ø    Metafisika

Ajaran Filsafat al Razi dikenal dengan istilah ajaran lima yang kekal , Prof. Dr.  Harun Nasution dalam bukunya “filsafat dan mistikisme dalam islam”  menjelaskan tentang lima ajaran  kekal tersebut, antara lain:[4]

1.      Allah ( al-Bari ta’ala) Tuhan pencipta yang maha tinggi dan maha sempurna.

Allahlah yang menciptakan dan mengatur seluruh Alam, Allah menciptakan Alam bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada, karena itu alam semestinya  tidak kekal sekalipun materi pertama kekal  sebab penciptaan disini dalam arti disusun  dari bahan yang telah ada. Ada tiga teori yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang mendukung keberadaan tuhan, pertama : Paham yang mengatakan alam semesta ini ada dari yang tidak ada, ia terjadi dengan sendirinya, Kedua: Alam semesta ini berasal dari sel yang merupakan inti, Ketiga: Alam semesta ini ada yang menciptakannya.[5]



2.      Roh (An-Nafsul kuliyyah )

Roh atau jiwa adalah merupakan sumber kekal yang kedua, hanya saja ia tidak seMaha dengan Tuhan, karena ia terbatas dan tentu saja dengan keterbatasannuya itu membutuhkan Tuhan. Hal itu terlihat ketika jiwa, tertarik dengan materi pertama yang juga kekal. Untuk memenuhi hal itu, Tuhan membantu jiwa dengan membentuk alam ini (termasuk manusia) melalui materi pertama dengan susunan yang kuat, sehingga jiwa dapat mencari kesenangan didalamnya. sekaligus melengkapinya dengan akal agar ia tidak memperturutkan hawa nafsu

3.      Materi ( Al-Hayulal  Ula) Apa yang ditangkap panca indra tentang benda

ia adalah substansi yang kekal, terdiri dari atom-atom. Ia kekal dan nantinya akan menjadi bahan terbentuknya alam. Didalam prosesnya materi yang paling padat akan menjadi substansi bumi, yang lebih renggang dari pada unsur bumi akan menjadi air, yang  lebih renggang dari air akan menjadi udara, dan berikutnya api.[6]



4.      Ruang (Al-Makanul Mutlaq)

Menurut al-Razi, ruag adalah tempat keberadaan materi, kalau materi dikatakan kekal maka dia membutuhkan ruang yang kekal pula.  Bagi al-razi ruang terbagi menjadi dua yakni ruang Universal (Mutlak) adalah ruang yang tidak terbatas dan tidak tergantung kepada dunia dan segala yang ada didalamnya. Sedangkan ruang tertentu (relatif) adalah sebaliknya.

5.      Waktu (Az-Zamanul Mutlaq)

  Waktu menurut Ar Razi adalah subtansi kekal yang mengalir. Dimana ia dibagi manjadi dua yaitu   waktu relative (terbatas) dan waktu Universal (mutlak).  Waktu relatif (al mahsur/alwaqt), Ini bersifat partikular dan tidak kekal karena ia bergantung pada gerak falak, terbit dan tenggelamnya matahari. Sedangkan Waktu  Universal (al-dahr), Inilah zaman yang tidak memiliki awal dan akhir. Ia terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta dan gerakan falak.

Harun Nasution  dalam bukunya “Falsafat dan Mistisme”  menjelaskan bahwa menurut al-Razi, dari lima yang kekal itu ada dua yang hidup, dan aktif atau bergerak  yaitu Tuhan dan Jiwa atau Roh,  satu darinya tidak hidup dan pasif yaitu materi, dan dua lagi yang tidak  hidup, tidak bergerak dan tidak pula pasif  yakni ruang dan waktu[7]. Filsafat al-Razi sebenarnya diwarnai oleh doktrinnya tentang lima ajaran tentang kekekalan tersebut dan kelima hal inilah yang  merupakan landasan  ajaran Filsafat yang dibawa oleh al-Razi. Menurut Dr.T.J. De Beor bahwa dasar-dasar metafisika ar-razi berasal dari doktrin-doktrin tua seumpama pemikiran-pemikiran Anaxagoras, Empedokles, Mani dan lain-lainnya. Dan puncak dari metafisika itulah Prinsip tentang lima yang Abadi (Five Coenternal prinsiples).[8]

Ø  Moral

Terkait dengan filsafat al-Razi tentang moral, dalam bukunya “al Thib al Ruhani dan al Sirah al Falsafiyyah”  al-Razi memiliki pandangan bahwa moral harus berdasarkan petunjuk rasio. Dengan demikian hawa nafsu mesti diletakkan dibawah akal dan kendali agama, agar ia tidak melanggar larangan-larangan Agama. Berkaitan dengan jiwa, Al-Razi mengharuskan seorang dokter untuk mengetahui dan menguasai kedokteran jiwa, (al-Thibb al-Ruhani) dan kedokteran tubuh (al-Thibb al-Jasmani) secara bersamaan karena manusia membutuhkan hal itu secara bersama-sama pula. Hal ini menunjukkan bahwa antara keduanya memiliki korelasi yang segnifikan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Al-Razi juga mengutuk akan cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada hawa nafsu, cinta menjadikan seseorang lupa akan dirinya dan tidak bisa berpikir secara rasional.



Ø  Kenabian

Al-Razi menyanggah anggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia membutuhkan nabi serta wahyu yang diturunkan kepada manusia sebagai aturan serta pedoman dalam menselaraskan keterbatasan akal.  Akal menurut al-Razi adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia, dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat yang sebanyak-banyaknya bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan,  karena itu manusia tidak boleh menyia-nyiakan akal  serta mengekang ruang gerak akal,  akan tetapi memberi kebebasan sepenuhnya dalam segala hal. Dari pandangan tersebutlah yang menjadikan al-Razi tidak percaya kepada wahyu dan adanya Nabi  seperti yang dijelaskan dalam kitabnya” Naqd al-Adyan au fi al-Nubuwwah” (Kritik terhadap agama-agama dan nabi).[9]  Al-Razi juga tidak hanya mengkritisi injil dan kitab suci lainnya, bahkan ia juga mengkritisi al-Qur’an berikut kemu’jizatannya.

Al-Razi adalah termasuk seorang Rasionalis murni, ia hanya mempercayai terahadap kekuatan akal dan menjadikan akal diatas segala-galanya. Al-Razi memiliki pandangan bahwa Ilmu  penegetahuan berasal dari tiga sumber yaitu  pemikiran yang didasarkan pada logika, Tradisi dari para pendahulu kepada para pengganti yang didasarkan pada bukti menyakinkan dan akurat seperti dalam sejarah dan  yang menuntun manusia tampa memerlukan banyak pemikiran[10]. Akal sudahlah cukup untuk mencerahi dan membimbing manusia pada kebenaran. Karena itu kenabian adalah sesuatu yang berlebihan. Karena dalam sejarah, kenabian dan kalam wahyu atau ajaran-ajaran yang dibawanya telah mengobarkan semangat peperangan diantara para pemeluk kitab suci yang bersifat keagamaan[11].



D.    Kesimpulan

Al-Razi mengakui akan adanya Tuhan namun tidak mengakui adanya wahyu serta nabi yang diutusnya, dan sebaliknya dia mempercayai kemajuan dan pemikiran manusia dan menjadikan akal sebagai tolak ukuran untuk menilai baik dan buruk,  benar dan jahat, atau berguna dan tidak berguna. A. Mustofa dalam bukunya “filsafat Islam” menjelaskan bahwa Sehubungan dengan adannya penolakan terhadap wahyu dan kenabian serta tidak mengakui adanya semua agama, maka dia dipandang dari segi teologi Islam adalah belum muslim karena keimanan yang dipeluknya tidak konsekuen. Dan tidak juga dikatakan seoran atheis karena ia masih tetap menyakini akan adanya Tuhan yang maha kuasa dan pencipta dan ia lebih tepat disebut seorang “ Rasionalis murni”.  Dalam banyak kitab, kita temukan bahwa al-Razi termasuk diantara pemikir-pemikir islam dan dokter-dokter orang islam yang tiada tanding[12].dalam bidang filsafat dia dikenal sangat kritis terhadap pandangan-pandangan dan tradisi orang lain dilingkungannya, dengan kritisnya dalam pandangan filsafat dia digolongkan sebagai muslim yang memproduksi filsafat Islam. Dalam karya yang lain yang berjudul “baar al-sa’ah dan sirr al-asrar”, al-Razi menulis sebuah ungkapan “ Semoga Allah melimpahkan shalawat kepada ciptaannya yang terbaik, nabi Muhammad dan keluarganya”, dan masih ada lagi catatan-catatan yang lain, yang mana dari catatan ini menunjukkan bahwa al-Razi benar-benar seorang Filusuf Muslim.[13]

E.     Referensi



Ø  Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat pengetahuan Islam, Jakarta : UI Press, Cet ke 1, 1985

Ø  Ali,H.A.Mukti, Metode memahami Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet ke1, 1991

Ø  Drs. H. A. Mustofa,  Filsafat Islam,  Bandung : Pustaka Setia, Cet ke 1, 2004

Ø  Dr. HasyimSyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama , 1999

Ø  Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam. Sebuah peta kronologis. terjm.Mizan. Bandung; 2002. Cet 2

Ø  Yusril Ali, Perkembangan pemikiran Filsafat dalam Islam, Jakarta : Bumi aksara, cet ke-1

Ø  Drs.Atang Abd Hakim dan Dr.Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Cet ke 3, 2000.

Ø  Amroeni Drajat, Filsafat Islam, Jakarta : Erlangga, cet ke 1.





[1] Ali,H.A.Mukti, Metode memahami Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet ke1, 1991, hal 33

[2] Perkataan Ibnu Taymiyah yang dikutip dalam kitab al-Manhaj al-Ma’rifi ‘inda ibnu Taymiyah

[3] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat pengetahuan Islam, Jakarta : UI Press, Cet ke 1, 1985,  ha 46

[4] Miska Muhammad Amien, ibid hal 46

[5] Drs.Atang Abd Hakim dan Dr.Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Cet ke 3, 2000, hal 111

[6] Hasyim Syah mengutip Ibnu Muhammad Zakariya Ar Razi dalam bukunya Al Thib al Ruhani al Latif  al Ghaid.

[7] HasyimSyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama , 1999, Hal 26

[8] Yusril Ali, Perkembangan pemikiran Filsafat dalam Islam, Jakarta : Bumi aksara, cet ke-1, hal 38

[9] HasyimSyah Nasution,  Ibid hal 30

[10] A. Mustofa,  Filsafat Islam, op.Cit  hal 124

[11] Majid Fakhri. Sejarah Filsafat Islam. Sebuah peta kronologis. terjm.Mizan. Bandung; 2002. Cet 2. hal.38

[12] HasyimSyah Nasution, Filsafat Islam, hal 32

[13]  Amroeni Drajat, Filsafat Islam, Jakarta : Erlangga, cet ke 1, hal 25

IBNU BAJJAH



Oleh : Syamsun Noer al-Palimbaniy

·         Pendahuluan

Segala puji bagi Allah atas rahmat dan nikma-Nya solawat beserta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi mhammad Saw, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Berbicara tentang filsafat islam tentu kita ketahui bahwa islam telah banyak melahirkan para pemikir-pemikir (filsuf) yang luar biasa, sehingga dengan hasil pemikiran mereka itu, telah memberikan kotribusi bagi kemajuan sains dan pengetahuan di dalam peradaban manusia baik dibarat maupun timur. dan para pemikir-pemikir islam ini bukan saja lahir dari bumi bagian timur akan tetapi lahir dari bumi bagian barat seperti daratan Eropa, Spanyol tepatnya di Andalusia yang mana dahulunya daerah ini sabagai pusat peradaban islam dimasa ke Khalifahan Umayyah. Dari daerah inilah para pemikir islam muncul untuk memberikan kontribusi bagi peradaban islam dan dunia.
Didalam makalah ini akan dibahas tentang seorang Filsuf islam barat, yaitu salah satu tokohnya adalah Ibnu Bjjah. Bagian pembahasan ini dimulai dari biogarafi, disiplin ilmu, dan juga pokok-pokok pikiran (filsafat) nya seperti metafisika, etika, materi dan bentuk, politik dan lain sebagainya.

·         Biografi

Ibnu Bajjah yang memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhamad bin YahyaIbnu al- Sha’iq al- Tujibi al-Andalusi al-Samquti ibnu Bajjah. Beliau dilahirkan di Saragosa, Andalusia  pada tahun 475 H/1082 M, berasal dari keluarga al-Tujibi yang bekerja sebagai pedagang emas (Bajjah = emas), tetapi di Barat ia  lebih dikenal dengan nama Avance.   Selanjutanya pada tahun 512 H, Saragosa jatuh ketangan raja Alponso I dari Aragon, atas kejadian ini, Ibnu Bajjah terpaksa pindah ke Seville. Di kota ini ia bekerja sebagai dokter.[1]


 Ibnu Bajjah banyak manulis tafsiran mengenai falsafat Aristoteles. Bukunya yang terkenal ialah Tadbir al-mutawahhid. Di dalam buku ini ia mengkritik pendapat al-Ghazali yang mengatakan bahwa kebenaran itu dapat dicapai melalui jalan sufi. Menurut pendapatnya bahwa unutk dapat mencapai kepada kebenaran seseorang harus menempuh jalan filsafat. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa unutk menapai kebenaran, seseorang haru harus hidup menyendiri dengan meninggalkan masyarakat  yang  selau mmentingkan materi. Di dalam filsafatnya, Ibnu Bajjah juga membawa pemikiran tentang materi dan bentuk, Psikologi, akal dan pengetahuan, Tuhan sumber pengetahuan, filsafat dan etika.[2]


·         Filsafat Ibnu Bajjah


Ibnu Bajjah adalah Ahli ayng menyandarkan pada teori praktik ilmu-ilmu mate-matika, astronomi, music, mahir ilmu pengobatan dan studi-studi spekulatif seperti logika, filsafat alam dan metafisika.


Ibnu Bajjah menyandarkan filsafat dan logikanya pada karya-karya Al-Farabi, namun metode yang penelitian filsafatnya benar-benar lain dari metode penelitian Al-Farabi. Dia berurusan dengan segala masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi filsafat Aristoteles, itulah sebabnya Ibnu Bajjah menulis uraian-uraiannya atas karya-karya Aristoteles. Seperti  juag filsafat Aristoteles, Ibnu Bajjah mendasarkan metefisika dan Psikologinya pada fiska, karena itulah mengapa tulisan-tulisanya pnuh dengan wacana-mengenai fisika.[3]


·         Epistimologi


Sebagai tokoh femula Filsafat islam di Dunia Barat, Ibnu Bajjah tidak lepas dari pengaruh saudara-saudarnya, filsuf di Dunia Islam Timur, terutama pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina . dalam bukunya yang terkenal Tadbir al-Mutawahhid,Ibnu Bajjah mengemukakan Theori al-Ittishal, yaitu bahwa manusia mampu mampu dengan meleburkan diri dengan Akal Fa’al atas bantuan ilmu dan dan pertumbuhan kekuatan insaniyah. Segala keutamaan budi pekerti mendorong kesanggupan jiwa yang berakal, serta penguasaanya nafsu hewani. Dengan kata lain manusia harus bersungguh-sungguh unutk berhubungan dengan alam yang tingi, bersama masyarakat atau menyendiri dari masyarakat. Hal ini merupakam pengaruh tasawwuf yang melebihi pengaruh Al-Farabi.


Berkaitan dengan teori ittishal inilah, Ibnu Bajjah juga mengajukan satu bentuk epistimologi yang berbeda dengan corak yang dekemukakan oleh Al-Ghazali di Dunia Islam Timur. Kalau Al-Ghzali berpendapat bahwa ilham adalah sumber pengetahuan yang lebih penting dan lebih dipercaya, maka Ibnu Bajjah mengkritik pendapat tersebut, dan menetapkan bahwa sesungguhnya perseorangan mampu samapai kepada puncak pengetahuan dan melebur ke dalam Akal Fa’al, bila ia telah bersih dari kerendahan dan keburukan masyarakat. Kemampuan menyendiri dan mempergunakan kekuatan akalnyaakan dapat memperoleh pengetahuan dan kecerdasan yang lebih besar. Pemikiran insane dapat mengalahkan pemikiran hewani, sekaligus pikiran inilah yang membedakan manusia dengan hewan. lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa pengetahuan yang didapatkan oleh akan, akan membangun kepribadian seseorang. Untuk itu ada empat sebab, bentuk, materi, agen, dan tujuan, yang harus diketahui oleh manusia unutk mengetahui objek-objek pengetahuan, sehingga mencapai keimanan kepada Tuhan, malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan akhirat.[4]


·       Metafisika

Menurut Ibnu Bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi menjadi dua: yang bergerak dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan. Gerakan ini digerakkan pula oleh gerakan yang lain, yangakhir rentetan gerakan ini digerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak, dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi). Gerak jisim mustahil timbul dari substansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas), yang oleh Ibnu Bajjah disebut dengan akal.Kesimpulannya, gerakan alam ini jisim yang terbatas digerakkan oleh akal (bukan berasal dari substansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak ialah akal, ia menggerakkan akal dan ia sendiri tidak bergerak. Akal inilah yang disebut dengan Allah (’aqlu ’aqil dan ma’qul); sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Faraby dan Ibnu Sina sebelumnya.


·      Materi dan bentuk


Menurut pandangan Ibnu Bajjah, materi (al-Hayula) tidak mungkin bereksistensi tanpa bentuk (al-Shurat). Sementara itu, bentuk bisa bereksistensi dengan sendirinya tanpa materi. Jika tidak, secara pasti kita tidak mungkin dapat menggambarkan adanya modifikasi (perubahan-perubahan) pada benda. Perubahan-perubahan tersebut adalah suatu kemungkinan dan inilah yang dimaksud dengan pengertian bentuk materi. Pandangan Ibnu Bajjah ini diwarnai oleh pemikiran Aristoteles dan Plato. Menurut Aristoteles, materi adalah sesuatu yang menerima bentuk yang bersifat potensialitas dan dapat berubah sesuai bentuk. Sementara menurut pandangan Plato, bentuk adalah nyata dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk bereksistensi. Bentuk, menurut Plato, terdapat diluar benda. Bentuk yang dimaksud Ibnu Bajjah mencakup arti jiwa, daya, makna, dan konsep. Bentuk hannya dapat ditangkap dengan akal dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Bentuk pertama, menurut Ibnu Bajjah, merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi, yang dikatakannya sebagai tidak mempunyai bentuk.[5]


·      Etika


Ibnu Bajjah membagi etika menjadi tindakan hewani dan manusiawi. Yang pertama oleh karena kebutuhan-kebtuhan alamiah, yang bersifat hewani sekaligus manusiawi. Makan misalanya dapat bersifat hewani sepanjang hal dilakukan hanya unutk membutuhkan kebutuhan dan keinginan biologisnya, tetapi makan itu dapat juga bersifat manusiawi sepanjang hal itu dilakukan unutk menjaga kekuatan dan kehidpan emi meraih karunia spiritual.[6]perbedaan anatara kedua pemabagiaan terebut,  bagi Ibnu Bajjah bukan pada perbuatanya, tetapi pada motifnya. Kalau didorong oleh nafsu hewani berarati perbuatan hewani, tetapi alau perbuatanya itu didasarkan akal budi, maka hala itu adalah perbuatan manusia.[7]


·       Politik


Pandangan politik Ibnu Bajjah dipengaruhi oleh pandangan politik Al-Farabi. Sebagaimana Al-Farabi, dalam buku Ara’ Ahl al-Madinat al-Fadhilat, ia (Ibnu Bajjah) juga memebagi negara menjadi negara utama (al-Madinat al-Fadhilat) atau sempurna dan negara yang tidak sempurna, seperti negara jahilah, fasiqah, dan lainnya.

Demikian juga tentang hal-hal yang lain, seperti persyaratan kepala negara dan tugas-tugasnya selain pengatur negara, juga pengajar dan pendidik. Pendapat Ibnu Bajjh sejalan dengan Al-Farabi. Perbedaanyya hanya terletak pada penekanannya. Al-Farabi titik tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibnu Bajjah titik tekannya pada warga negara (masyarakat). Warga negara utama, menurut Ibnu Bajjah mereka tidak lagi memerlukan dokter dan hakim. Sebab mereka hidup dalam keadaan puas terhadap segala rezeki yang diberikan Allah, yang dalam istilah agama disebut dengan al-qanaah. Mereka tidak mau memakan makanan yang akan merusak kesehatan. Mereka juga hidup saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menghormati. Oleh karena itu, tidaklah akan ditemukan perselisihan antara mereka. Mereka seluruhnya mengerti undang-undang negara dan mereka tidak mau melanggarnya.

Berbeda dengan AL-Farabi, dalam konsep politiknya Ibnu Bajjah menambahkan adanya diantara masyarakat yang mutawahhid, yaitu uzlah falsafi yang berbeda dengan uzlah tasawuf Al-Ghazali.


·         Tasawuf (manusiaPenyendiri)


Renan berpendapat bahwa Ibnu Bajjah memiliki kecenderungan kepada tasawuf, tapi tentu salah ketika dia menganggap bahwa Ibnu Bajjah menyerang al-Ghozali karena ia menandaskan intuisi dan tasawuf. Sesungguhnya, Ibnu Bajjah mengagumi al-Ghozali dan menyatakan bahwa metode al-Ghozali memampukan orang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, dan bahwa metode ini didasarkan pada ajaran-ajaran nabi suci. Sang sufi menerima cahaya di dalam hatinya. Cahaya di dalam hatinya ini merupakan suatu spekulasi, yang lewat spekulasi itu hati melihat hal-hal yang dapat dipahami seperti orang melihat obyek yang tertimpa sinar matahari lewat penglihatan mata, dan lewat pemahaman hal-hal yang dapat dipahami ini dia melihat semua yang melalui implikasi mendahului mereka atau menggantikan mereka.[8]


·         Kebenaran


Menurut Ibnu Bajjah, unutk memperoleh kebenaran, mansia harus melaui kebenaran itu sendiri. Unutk sampai ketingkat itu alatnya adalah filsafat murni. Dengan filsafat murni inilah manusia dapt memebersihkan dirinya  dari pengaruh-pengaruh luar. Hal ini dapat dilakukan dengan mengasingkan dirinya.


Bagi manusia, kebenaran dapat dicapai dengan pikiranya sendiri, setelah lepasa dari sifat-sifat hewani. Tingkat ini disbut oleh Ibnu Bajjah dengan istilah Mutawahhid. Mutawahhid dapt diartikan sebagai penyendirian (‘Uzlah). Melalui mutawahhid inilah manusia akan mandapatkan ketenangan.


·         Pengetahuan


Ibnu Bajjah menyatkan bahwa pengetahuan dapt diperoleh dengan menggunakan metode eksperimen (percobaan), percobaan ini dilakukan lewat perasaan (indera). Tetapi dilain pihak Ibnu Bajjah menyatakan, pengamatan inderawi  semata-mata belum cukup unutk mendapatkan kebenaran dan masih harus ditingkatkan lebih lanjut ketingkat pengamatan akal (rasio). Mengenai Tuhan sendiri dapt diketahu manusia melaui filsafat, manusia dengan berfilsafat akan dapat memahami (ma’rifat) tentang TUhan Ynag Maha Esa.[9]



Karyanya


Di antara karya Ibnu Bajjah yang terpenting adalah:


a.      Risalah al- Wada’, berisi tentang penggerak pertama bagi wujud manusia, alam, serta bebrapa uraian mengenai kedokteran.


b.      Risalah Tadbir al-Muwahhhid (Tingkah Laku Ynag Penyendiri), kitab ini mirip dengan kitab Al-Farabi, yakni  yang berjudul, di dalam kitab inilah beliau menuangkan pemikiranya.


c.       Kitab an-Nafs, berisi keterangan mengenai kegemaran Ibnu Bajjah, yakni pemusatan dalam batas kemungkinan persatuan jiwa manusia dengan Tuhan, sebagai aktivitas yang tertinggi dan kebahagaiaan yang tertinggi, yang merupakan tujuan akhir dari wujud manusia


d.     Risalah al-‘Ittishal al-‘Aql bi al-Insan(hubungan akal dengan manusia).[10]






Penutup






Daftar Pustaka


·      Nasution, Hasymsyah, M.A., Fiasafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III 2000


·      Nata, Abuddin, M. A., Ilmu Kalam Filsafat dan Tasawuf  Jakarta: PT. RajaGarpindo Persada, Cet. IV, 1998


·      Mustofa, H.A., filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. I,  2004


·      Amien, Miska Muhammad, “Epistimologi Islam”, Jakarta: UI Press, Cet. I 1983


·      http://WordPress.com


++++++++++++++++++++++++++++++


[1] Hasymsyah Nasution, M.A., Fiasafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama 2002, Cet. III, Hal. 93-95


[2] Drs. Abuddin Nata, M. A., “Ilmu KalamFilsafat dan TasawUf”  Jakarta: PT. RajaGarpindo Persada 1998, Cet. IV, hal. 104-105


[3] Dr. H.A. Mustofa, filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia 2004, Cet. I, Hal. 258


[4] Dr. Hasymsyah Nasution, M.A., Op. Cit. 97


[5] http://WordPress.com


[6] Drs. Abuddin Nata, M. A. Op. Cit, 106


[7] Hasymsyah Nasution, M.A. Op. Cit, 99


[8] http://WordPress.com


[9] Miska Muhammad Amien, “Epistimologi Islam”, Jakarta: UI Press 1983, Cet. I, hal. 48


[10] Dr. Hasymsyah Nasution, M.A., Op.Cit,  Hal. 93-95

IBNU MISKAWAIH DAN CORAK FILSAFATNYA



Oleh:Tirta As-Sundawy

A.    Pendahuluan

Segala puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam yang telah memberikan berbagai nikmatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Ushwah kita yakni Nabi Muhamad SAW. Beserta kaluarganya, shahabat dan ummatnya yang setia mengikuti jejak langkahnya hingga akhir zaman.

Filsafat merupakan salah satu ilmu yang cukup terkenal dan banyak dibicarakan hingga hari ini. Banyak bermunculan tokoh-tokoh filsafat tak terkecuali tokoh filsafat Islam, salah satunya adalah Ibnu miskawaih.  Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang beliau, biografi, pemikiran filsafatnya dan hubungan dengan para filsafat lainnya.

B.     Biografi

Ibnu Miskawaih adalah filsuf muslim yang hidup antara tahun 330-421 H/940-1030 M. Ia menyandang nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Miskawaih.[1] Beliau lahir di Raiy, salah atu kota yang dalam abad sekitar hidupnya sangat terkenal di  Persi, yaitu Teheran sekarang ini.

Mengenai kemajusiannya sebelum Islam banyak dipersoalkan, Jurzi Zaidan misalnya berpendapat bahwa ia adalah majusi, kemudian memeluk Islam. Sedangkan Yaqut da pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi kemudia memeluk Islam. Artinya Ibnu Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama bapaknya, Muhamad.[2]

Mengenai pendidikannya, dianggap kuat Ibnu miskawaih tidak mendapat pelajaran privat (mendatangkan guru ke rumah) sebagaimana kebiasaan anak-anak pada masanya, karena ekonomi keluarganay yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Miskawaih terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku. Terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, menteri Rukih Ad-Daulah. Juga akhirnya memperolllleh keperacayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Ad-Daulah.[3]

Beliau mengais Ilmu di Baghdad dan meninggal di Isfahan. Setelah menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan Ia akhirnya memusatkan diri dalam kajian sejarah dan Etika. Gurunya dalam lapangan sejarah adalah Abu Bakr Ahmad Ibnu Kamil Al-Qadhi dan Ibu Al-Khammar daam lapangan Filsafat.[4]

Menurut Otto Horrassowitz, Ibnu Miskawaih termasuk tokoh Filosof abad klasik, yang dari Ibnu Miskawaih dijumpai pemikiran Filsafat tentang moral, pengobatan Rohani dan filsafat sejarah.[5]

Beliau bakerja selama puluhan tahun sebagai pustakawan pada sejumlah Wazir dan Amir Bani Buwaih, yakni Wazir Hasan Al-Mahlabi di Baghdad (348-352 H), Wazir Abu Al-Fadhl Muhamad Ibu Al-Amid di Raiy (325-360) dan sejumlah amir lainnya.

C.    Karya-karya Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih ialah seorang pujangga yang memiliki keahlian dalam bermacam-macam ilmu, terutama ilimu sejarah, ilmu tabib dan ilmu dalam kebudayaa Islam pada jamannya. Dan oleh karena itu beberapa buah diantaranya sampai sekarang masih menjadi bahan penyelidikan dan sudah banyak diterjemahkan orang dalam beberapa bahasa Eropa dan Asia. [6]

Keseluruhan karyanya berjumlah 18 buah yang sebagian besar mengkaji masalah jiwa dan Etika. Diantara karyanya antara lain:

1.      Al-Fauz Al-Ashghar (Tentang keberhasilan)

2.      Tajarib Al-Umam (Tentang pengalamn bangsa-bangsa)

3.      Tahdzib Al-Akhlaq (Tentang pendidikan Akhlak)

4.      Al-Ajwibah wa Al-Asilah fi al-Nafs wa al-‘Aql (Tanya jawab tentang jiwa dan akal)

5.      Al-Jawab fi al-Masil al-Tsalats (Jawaban tentang tiga masalah)

6.      Thaharah al-Nafs (kesucian jiwa)

7.      Risalah fi al-Ladzdzah wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs (Tentang kesenangan dan kesedihan jiwa) dan

8.      Risalah fi Haqiqah al-‘Aql (Tentang hakikat akal)[7]

9.      Al-Fauz al-Akbar

10.  Uns al-Farid (koleksi anekdot, syai’ir, pribahasa, dan kata-kata hikmah)

11.  Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)

12.  Al-Mustaufa (sya’ir-sya’ir pilihan)

13.  Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)

14.  Al-Jami’

15.  Al-Siyar (tentang tingkah laku kehidupan)

16.  On the simple Drugs (tentang kedokteran)

17.  On the composition of the Bajat (seni memasak)

18.  Kitab al-Asyribah (tentang minuman)[8]



D.    Filsafat Ibnu Miskawaih

a.      Metafisika

Beliau tidak memberi perhatian besar terhadap masalah ketuhanan, karena pada masanya tidak banyak lagi diperbincangkan lagi masalah tersebut. Dengan demikian pemikirannya tidak tidak banyak berbeda dengan Filsuf sebelumnya, terutama Al-Farabi dan Al-Kindi. Hal ini tampak bahwa Tuhan menurut Ibnu Miskawaih adalah zat yan tidak berjisim, azali dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek . Tuhan tidak terbagi-bagi karena tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara denganNya. Tuhan ada tanpa diadakan, dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkanNya.[9]

Tuhan menurutnya adalah penggerak utama yang tidak bergerak dan pencipta yang tidak berubah-ubah. Ia bersifat abadi dan non materi, serta berbeda dengan entitas apapun yang tunduk terhadap hukum perubahan. Karena itu Tuhan yang secara mutlak bebas dari materi, secara mutlak tidak berubah dan kebebasa Tuhan dari materilah yang membuat kita tidak mungkin menggambarkannya dengan istilah apapun. Tetapi menurut beliau, keharusan untuk menganggap kesempurnaan tertinggi berasal dariNya, maka kita harus dibimbing dalam masalah ini oleh keentuan kitab suci.

Dalam masalah penciptaan, Ibni MIiskawaih menyajikan teori Emanasi Neo-Platonisme sebagaimana halnya Al-Farabi. Tetapi dalam perumusan tahapan-tahapan emanasi dimaksud, antara keduanya terdapat perbedaan.

Menurut Ibnu miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘Aql Fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna dan tak berubah. Pancaran yang terus menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, sekiranya pancaran Tuhan dimaksud terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan di alam ini.[10]

Berdasarkan pendapat beliau diatas, maka dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan Al-Farabi sebagai berikut:

1.      Bagi Ibnu Miskawaih, Tuhan menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada. Sedangkan menurut Al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.

2.      Bagi Ibnu Miskawaih, ciptaan tuhan yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan bagi Al-Farabi ciptaan Tuhan yang pertama adalah Akal 1, dan Akal aktif adalah akal yang kesepuluh.

Jika ditilik pemikiran Ibn Miskawaih ini, hanya dalam masalah pokok bersesuaian dengan Al-Farabi. Dalam pendekatan masalah terlihat lebih dekat dengan Al-Kindi atau mutakallimin.

b.      Evolusi

Seperti Ikhwan Al-Safa, Ibnu Miskawaih menganut faham Evolusi. Bila dalam faham IKhwan Al-Safa dikatakan bahwa yang lebih dahulu muncul dibumi ini adalah alam mineral, kemudian baru tumbuhan, kemudian binatang, dan kemudian baru manusia. Dengan penjalaasn bahwa pada puncak perkembangan ala binatang terdapat kera yang banyak persamaannya dengan dalam betuk dan kelakuan. Maka Ibnu Miskawaih juga mengajukan prinsip yang sama. Evolusi manurutnya berlangsung dari alam mineral ke ala tumbuh-tumbuhan, selamjutmua ke alam binatang, seterusnya ke alam manusia. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuhan terjadi melalui merjan (kerang), dari alam tumbuhan kea lam binatang melalui pohon kurma dan dari alam binatang ke alam manusia melalui kera.[11]

c.       Kenabian

Dalam masalah kenabian tampaknya tak ada perbedaan pendapat antara Ibu miskawaih dan Al-Farabi dalam memperkecil perbedaan Nabi dengan Filsuf. Menurut Ibnu Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena pengaruh akal aktif atas daya imajenasinya. Hakikat yang sama juga diperoleh Filsuf. Perbedaannya terletak pada cara memperolehnya. Para Filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya indrawi naik ke daya khayal, dan naik lagi ke daya piker sehingga dapat berhubungan da menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal aktif sebagai rahmatTuhan.[12] Jadi menurutnya, sumber kebenaran yang diperoleh oleh Nabi dan filsuf adalah sama, yaitu akal aktif.

Pemikiran ini sejalan dengan Al-Farabi. Oleh karena kebenaran itu satu, baik yang pada Nabi maupun yang ada pada Filsuf, maka yang paling awal menerima dan mengakui apa yang dibawa Nabi adalah Filsuf.

d.      Moral

Menurut beliau, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-Nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[13]

Akhlak terpuji sebagai manisfestasi dari watak tidak benyak dijumpai, yang terbanyak adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji karena watak. Karena itu, menurut beliau kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang kepada sifat tercela.

Ibnu Miskawaih menolak pendapat yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh beliau ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan.

Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. hal ini terlihat dari salah satu tujuan ibadah adalah pembentukan akhlak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku mayarakat.

Adapun jiwa menurut Ibnu Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Menurutnya, kebahagian dan kesengsaraan diakhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanah kelezatan hakiki.

Kemudian masalah pokok yang dibicarakan dalam kajiannya tentang akhlak adalah kebaikan (al-Khair), kebahagiaan (al-Sa’adah) dan keutamaan (al-Fadhilah). Menurut beliau, kebaikan adalah suatu keadaan diaman kita sampai pada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum dan khkusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaiakan bagi seseorang secara pribadi. Yang terakhir inilah yang dinamakan kebahagiaan. Jadi menurut beliau, kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya.

Kebahagiaan banyak dibicarakan pemikir Yunani dalam dua versi, yaitu pandangan pertama diwakili oleh Plato yang berpendapat bahwa hanya jiwalah yang dapat memperoleh kebahagiaan. Sehingga selama jiwa msih terkait dengan badan, maka selama itu pula manusia tidak akan mendapat kebahagiaan. Sedangkan kedua diwakili oleh Aristoteles yang berpandangan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja berbeda menurut masing-masing manusianya.

Ibnu Miskawaih tampil diantara kedua pendapat itu. Menurutnya, karena manusia mempunyai dua unsur yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Ada manusia yang bahagia karena terikat dengan hal yang bersifat benda, namun ia rindu terhadap kebahgiaa jiwa dan terus berusaha mendapatkannya. Ada pula menusia yang mendapat kebahagian melalui jiwa dan melepas kebendaan.

Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibu miskawaih mengandung kepedihan dan penyesalan serta menghabat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Kebahagian jiwalah yang merupakan kebahagian yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memiliinya kederajat malaikat.[14]

e.       Prinsip sejarah

Ibu miskawaih menghendaki agar sejarah ditulis dengan sikap kritis dan filosofis. Sejarah menurutnya bukanlah cerita hiburan tentang pribadi raja, melainka harus mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan social pada masa-masa tertentu juga harus merekam naik turunnya peradaban, bangsa, dan negara. Menurutnya, sejarahwan harus menjauhi kecenderungan mencampuradukkan fakta dan fiksi . sejarahwan tidak saja tekun mencari fakta, tetapi juga harus kritis dalam pengumpulan data. Selain itu, sejarah juga tidak cukup disajikan melalui data-data, tetapi juga disertai pula tinjauan filosifis, yaitu menafsirkan dalam bingkai relasi kuasa yang sarat kepentingan.[15]

E.     Penutup

Ibnu Miskawaih merupakan tokoh filsafat Islam yang cukup terkenal. Keilmuan beliau sebagian besar di peroleh secara otodidak. Mengenai Kemajusian dan Faham syi’ahnya masih dibicarakan banyak kalangan.

Dalam hal pemikirannya, Ibnu miskawaih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Banyak pemikiranya yang tidak sesuai dengan Islam, diantaranya pemikiran beliau tentang Evolusi, menyamakan Nabi dengan para filsuf, kehidupan setelah kematian yang hanya di alami jiwa saja dan banyak lagi pemikiran lainnya. Namun tentu ada pula yang sejalan dengan Islam, diantaranya dalam konsep ketuhanan dan moral atau akhlak, beliau berpendapat bahwa tabiat manusia dapat dirubah diantarnya malalui pendidikan dan  latihan-latihan. Ini sesuai dengan tujuan di utusnya Rasulullah SAW, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Wa Allahu ‘alam.

F.     Daftar pustaka



Aceh Abu Bakar, sejarah filsafat Isalm, Sala:C.V.Ramdhani, Cet. 2 th 1982

Dahlan Abdul Aziz , pemikiran filsafat dalam Islam, Jakarta: Djambatan, Cet, 1 th 2003

Drajat  Amroeni, Filsafat Islam buat yang pengen tahu, Jakarta:Penerbit Erlangga, cet. I th 2006

Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. 2 th 2004

Nasution Hasyimsyah,  Filsafat Islam, Jakarta:Gaya media pratama, Cet, 3 th 2002

Nato Abu Dain, Metodologi studi Ialam, Jakarta:Raja Grafindo Perkasa, Cet. 4 th 2000

[1] Amroeni Drajat, Filsafat Islam buat yang pengen tahu, Jakarta:Penerbit Erlangga, cet. I th 2006, hal. 42

[2] Dr.Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, Jakarta:Gaya media pratama, Cet, 3 th 2002, hal. 56

[3] Drs. H.A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. 2 th 2004, hal. 168

[4] Amroeni Drajat, loc.cit, hal. 42

[5] Dr. H. Abu Dain Nato. MA, Metodologi studi Ialam, Jakarta:Raja Grafindo Perkasa, Cet. 4 th 2000 hal. 212

[6] Prof.Dr.H.Abu Bakar Aceh, sejarah filsafat Islam, Sala:C.V.Ramdhani, Cet. 2 th 1982, hal. 174

[7] Amroeni Drajat, Op.cit, hal. 43

[8] Ibid,hal. 57-58

[9] Dr.Hasyimsyah Nasution, M.A. Op.cit, hal. 58

[10] Ibid,hal. 59-60

[11] Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, pemikiran filsafat dalam Islam, Jakarta: Djambatan, Cet, 1 th 2003, hal. 89-90

[12] Dr.Hasyimsyah Nasution, M.A. Op.cit, hal. 61

[13] Ibid,hal. 61

[14] Ibid.hal. 64-65

[15] Ibid,hal. 43-44