Selasa, 01 Desember 2009

IBNU MISKAWAIH DAN CORAK FILSAFATNYA



Oleh:Tirta As-Sundawy

A.    Pendahuluan

Segala puji hanyalah milik Allah Rabb semesta alam yang telah memberikan berbagai nikmatnya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Ushwah kita yakni Nabi Muhamad SAW. Beserta kaluarganya, shahabat dan ummatnya yang setia mengikuti jejak langkahnya hingga akhir zaman.

Filsafat merupakan salah satu ilmu yang cukup terkenal dan banyak dibicarakan hingga hari ini. Banyak bermunculan tokoh-tokoh filsafat tak terkecuali tokoh filsafat Islam, salah satunya adalah Ibnu miskawaih.  Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang beliau, biografi, pemikiran filsafatnya dan hubungan dengan para filsafat lainnya.

B.     Biografi

Ibnu Miskawaih adalah filsuf muslim yang hidup antara tahun 330-421 H/940-1030 M. Ia menyandang nama lengkap Abu Ali Ahmad Ibnu Miskawaih.[1] Beliau lahir di Raiy, salah atu kota yang dalam abad sekitar hidupnya sangat terkenal di  Persi, yaitu Teheran sekarang ini.

Mengenai kemajusiannya sebelum Islam banyak dipersoalkan, Jurzi Zaidan misalnya berpendapat bahwa ia adalah majusi, kemudian memeluk Islam. Sedangkan Yaqut da pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi kemudia memeluk Islam. Artinya Ibnu Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam, sebagai terlihat dari nama bapaknya, Muhamad.[2]

Mengenai pendidikannya, dianggap kuat Ibnu miskawaih tidak mendapat pelajaran privat (mendatangkan guru ke rumah) sebagaimana kebiasaan anak-anak pada masanya, karena ekonomi keluarganay yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Perkembangan ilmu Miskawaih terutama sekali diperoleh dengan jalan banyak membaca buku. Terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, menteri Rukih Ad-Daulah. Juga akhirnya memperolllleh keperacayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Ad-Daulah.[3]

Beliau mengais Ilmu di Baghdad dan meninggal di Isfahan. Setelah menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan Ia akhirnya memusatkan diri dalam kajian sejarah dan Etika. Gurunya dalam lapangan sejarah adalah Abu Bakr Ahmad Ibnu Kamil Al-Qadhi dan Ibu Al-Khammar daam lapangan Filsafat.[4]

Menurut Otto Horrassowitz, Ibnu Miskawaih termasuk tokoh Filosof abad klasik, yang dari Ibnu Miskawaih dijumpai pemikiran Filsafat tentang moral, pengobatan Rohani dan filsafat sejarah.[5]

Beliau bakerja selama puluhan tahun sebagai pustakawan pada sejumlah Wazir dan Amir Bani Buwaih, yakni Wazir Hasan Al-Mahlabi di Baghdad (348-352 H), Wazir Abu Al-Fadhl Muhamad Ibu Al-Amid di Raiy (325-360) dan sejumlah amir lainnya.

C.    Karya-karya Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih ialah seorang pujangga yang memiliki keahlian dalam bermacam-macam ilmu, terutama ilimu sejarah, ilmu tabib dan ilmu dalam kebudayaa Islam pada jamannya. Dan oleh karena itu beberapa buah diantaranya sampai sekarang masih menjadi bahan penyelidikan dan sudah banyak diterjemahkan orang dalam beberapa bahasa Eropa dan Asia. [6]

Keseluruhan karyanya berjumlah 18 buah yang sebagian besar mengkaji masalah jiwa dan Etika. Diantara karyanya antara lain:

1.      Al-Fauz Al-Ashghar (Tentang keberhasilan)

2.      Tajarib Al-Umam (Tentang pengalamn bangsa-bangsa)

3.      Tahdzib Al-Akhlaq (Tentang pendidikan Akhlak)

4.      Al-Ajwibah wa Al-Asilah fi al-Nafs wa al-‘Aql (Tanya jawab tentang jiwa dan akal)

5.      Al-Jawab fi al-Masil al-Tsalats (Jawaban tentang tiga masalah)

6.      Thaharah al-Nafs (kesucian jiwa)

7.      Risalah fi al-Ladzdzah wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs (Tentang kesenangan dan kesedihan jiwa) dan

8.      Risalah fi Haqiqah al-‘Aql (Tentang hakikat akal)[7]

9.      Al-Fauz al-Akbar

10.  Uns al-Farid (koleksi anekdot, syai’ir, pribahasa, dan kata-kata hikmah)

11.  Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)

12.  Al-Mustaufa (sya’ir-sya’ir pilihan)

13.  Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)

14.  Al-Jami’

15.  Al-Siyar (tentang tingkah laku kehidupan)

16.  On the simple Drugs (tentang kedokteran)

17.  On the composition of the Bajat (seni memasak)

18.  Kitab al-Asyribah (tentang minuman)[8]



D.    Filsafat Ibnu Miskawaih

a.      Metafisika

Beliau tidak memberi perhatian besar terhadap masalah ketuhanan, karena pada masanya tidak banyak lagi diperbincangkan lagi masalah tersebut. Dengan demikian pemikirannya tidak tidak banyak berbeda dengan Filsuf sebelumnya, terutama Al-Farabi dan Al-Kindi. Hal ini tampak bahwa Tuhan menurut Ibnu Miskawaih adalah zat yan tidak berjisim, azali dan pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek . Tuhan tidak terbagi-bagi karena tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara denganNya. Tuhan ada tanpa diadakan, dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkanNya.[9]

Tuhan menurutnya adalah penggerak utama yang tidak bergerak dan pencipta yang tidak berubah-ubah. Ia bersifat abadi dan non materi, serta berbeda dengan entitas apapun yang tunduk terhadap hukum perubahan. Karena itu Tuhan yang secara mutlak bebas dari materi, secara mutlak tidak berubah dan kebebasa Tuhan dari materilah yang membuat kita tidak mungkin menggambarkannya dengan istilah apapun. Tetapi menurut beliau, keharusan untuk menganggap kesempurnaan tertinggi berasal dariNya, maka kita harus dibimbing dalam masalah ini oleh keentuan kitab suci.

Dalam masalah penciptaan, Ibni MIiskawaih menyajikan teori Emanasi Neo-Platonisme sebagaimana halnya Al-Farabi. Tetapi dalam perumusan tahapan-tahapan emanasi dimaksud, antara keduanya terdapat perbedaan.

Menurut Ibnu miskawaih, entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘Aql Fa’al (akal aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesuatu pun. Ia kekal, sempurna dan tak berubah. Pancaran yang terus menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, sekiranya pancaran Tuhan dimaksud terhenti, maka berakhirlah kemaujudan dan kehidupan di alam ini.[10]

Berdasarkan pendapat beliau diatas, maka dapat ditarik perbedaan pendapatnya dengan Al-Farabi sebagai berikut:

1.      Bagi Ibnu Miskawaih, Tuhan menjadikan alam ini secara emanasi dari tiada menjadi ada. Sedangkan menurut Al-Farabi, alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.

2.      Bagi Ibnu Miskawaih, ciptaan tuhan yang pertama adalah akal aktif. Sedangkan bagi Al-Farabi ciptaan Tuhan yang pertama adalah Akal 1, dan Akal aktif adalah akal yang kesepuluh.

Jika ditilik pemikiran Ibn Miskawaih ini, hanya dalam masalah pokok bersesuaian dengan Al-Farabi. Dalam pendekatan masalah terlihat lebih dekat dengan Al-Kindi atau mutakallimin.

b.      Evolusi

Seperti Ikhwan Al-Safa, Ibnu Miskawaih menganut faham Evolusi. Bila dalam faham IKhwan Al-Safa dikatakan bahwa yang lebih dahulu muncul dibumi ini adalah alam mineral, kemudian baru tumbuhan, kemudian binatang, dan kemudian baru manusia. Dengan penjalaasn bahwa pada puncak perkembangan ala binatang terdapat kera yang banyak persamaannya dengan dalam betuk dan kelakuan. Maka Ibnu Miskawaih juga mengajukan prinsip yang sama. Evolusi manurutnya berlangsung dari alam mineral ke ala tumbuh-tumbuhan, selamjutmua ke alam binatang, seterusnya ke alam manusia. Transisi dari alam mineral ke alam tumbuhan terjadi melalui merjan (kerang), dari alam tumbuhan kea lam binatang melalui pohon kurma dan dari alam binatang ke alam manusia melalui kera.[11]

c.       Kenabian

Dalam masalah kenabian tampaknya tak ada perbedaan pendapat antara Ibu miskawaih dan Al-Farabi dalam memperkecil perbedaan Nabi dengan Filsuf. Menurut Ibnu Miskawaih, Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena pengaruh akal aktif atas daya imajenasinya. Hakikat yang sama juga diperoleh Filsuf. Perbedaannya terletak pada cara memperolehnya. Para Filsuf memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya indrawi naik ke daya khayal, dan naik lagi ke daya piker sehingga dapat berhubungan da menangkap hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh langsung dari akal aktif sebagai rahmatTuhan.[12] Jadi menurutnya, sumber kebenaran yang diperoleh oleh Nabi dan filsuf adalah sama, yaitu akal aktif.

Pemikiran ini sejalan dengan Al-Farabi. Oleh karena kebenaran itu satu, baik yang pada Nabi maupun yang ada pada Filsuf, maka yang paling awal menerima dan mengakui apa yang dibawa Nabi adalah Filsuf.

d.      Moral

Menurut beliau, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (halun li al-Nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[13]

Akhlak terpuji sebagai manisfestasi dari watak tidak benyak dijumpai, yang terbanyak adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji karena watak. Karena itu, menurut beliau kebiasaan atau latihan-latihan dan pendidikan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji tersebut, sebaliknya juga akan membawa orang kepada sifat tercela.

Ibnu Miskawaih menolak pendapat yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Oleh beliau ditegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan.

Pemikiran seperti ini sejalan dengan ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits sendiri menyatakan secara gamblang bahwa kedatangan Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. hal ini terlihat dari salah satu tujuan ibadah adalah pembentukan akhlak yang pada gilirannya akan memperbaiki tingkah laku mayarakat.

Adapun jiwa menurut Ibnu Miskawaih adalah jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Menurutnya, kebahagian dan kesengsaraan diakhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanah kelezatan hakiki.

Kemudian masalah pokok yang dibicarakan dalam kajiannya tentang akhlak adalah kebaikan (al-Khair), kebahagiaan (al-Sa’adah) dan keutamaan (al-Fadhilah). Menurut beliau, kebaikan adalah suatu keadaan diaman kita sampai pada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum dan khkusus. Kebaikan umum adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaiakan bagi seseorang secara pribadi. Yang terakhir inilah yang dinamakan kebahagiaan. Jadi menurut beliau, kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya.

Kebahagiaan banyak dibicarakan pemikir Yunani dalam dua versi, yaitu pandangan pertama diwakili oleh Plato yang berpendapat bahwa hanya jiwalah yang dapat memperoleh kebahagiaan. Sehingga selama jiwa msih terkait dengan badan, maka selama itu pula manusia tidak akan mendapat kebahagiaan. Sedangkan kedua diwakili oleh Aristoteles yang berpandangan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja berbeda menurut masing-masing manusianya.

Ibnu Miskawaih tampil diantara kedua pendapat itu. Menurutnya, karena manusia mempunyai dua unsur yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Ada manusia yang bahagia karena terikat dengan hal yang bersifat benda, namun ia rindu terhadap kebahgiaa jiwa dan terus berusaha mendapatkannya. Ada pula menusia yang mendapat kebahagian melalui jiwa dan melepas kebendaan.

Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibu miskawaih mengandung kepedihan dan penyesalan serta menghabat perkembangan jiwanya menuju kehadirat Allah. Kebahagian jiwalah yang merupakan kebahagian yang paling sempurna, dan mampu mengantar manusia yang memiliinya kederajat malaikat.[14]

e.       Prinsip sejarah

Ibu miskawaih menghendaki agar sejarah ditulis dengan sikap kritis dan filosofis. Sejarah menurutnya bukanlah cerita hiburan tentang pribadi raja, melainka harus mencerminkan struktur politik, ekonomi, dan social pada masa-masa tertentu juga harus merekam naik turunnya peradaban, bangsa, dan negara. Menurutnya, sejarahwan harus menjauhi kecenderungan mencampuradukkan fakta dan fiksi . sejarahwan tidak saja tekun mencari fakta, tetapi juga harus kritis dalam pengumpulan data. Selain itu, sejarah juga tidak cukup disajikan melalui data-data, tetapi juga disertai pula tinjauan filosifis, yaitu menafsirkan dalam bingkai relasi kuasa yang sarat kepentingan.[15]

E.     Penutup

Ibnu Miskawaih merupakan tokoh filsafat Islam yang cukup terkenal. Keilmuan beliau sebagian besar di peroleh secara otodidak. Mengenai Kemajusian dan Faham syi’ahnya masih dibicarakan banyak kalangan.

Dalam hal pemikirannya, Ibnu miskawaih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Banyak pemikiranya yang tidak sesuai dengan Islam, diantaranya pemikiran beliau tentang Evolusi, menyamakan Nabi dengan para filsuf, kehidupan setelah kematian yang hanya di alami jiwa saja dan banyak lagi pemikiran lainnya. Namun tentu ada pula yang sejalan dengan Islam, diantaranya dalam konsep ketuhanan dan moral atau akhlak, beliau berpendapat bahwa tabiat manusia dapat dirubah diantarnya malalui pendidikan dan  latihan-latihan. Ini sesuai dengan tujuan di utusnya Rasulullah SAW, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Wa Allahu ‘alam.

F.     Daftar pustaka



Aceh Abu Bakar, sejarah filsafat Isalm, Sala:C.V.Ramdhani, Cet. 2 th 1982

Dahlan Abdul Aziz , pemikiran filsafat dalam Islam, Jakarta: Djambatan, Cet, 1 th 2003

Drajat  Amroeni, Filsafat Islam buat yang pengen tahu, Jakarta:Penerbit Erlangga, cet. I th 2006

Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. 2 th 2004

Nasution Hasyimsyah,  Filsafat Islam, Jakarta:Gaya media pratama, Cet, 3 th 2002

Nato Abu Dain, Metodologi studi Ialam, Jakarta:Raja Grafindo Perkasa, Cet. 4 th 2000

[1] Amroeni Drajat, Filsafat Islam buat yang pengen tahu, Jakarta:Penerbit Erlangga, cet. I th 2006, hal. 42

[2] Dr.Hasyimsyah Nasution, M.A. Filsafat Islam, Jakarta:Gaya media pratama, Cet, 3 th 2002, hal. 56

[3] Drs. H.A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. 2 th 2004, hal. 168

[4] Amroeni Drajat, loc.cit, hal. 42

[5] Dr. H. Abu Dain Nato. MA, Metodologi studi Ialam, Jakarta:Raja Grafindo Perkasa, Cet. 4 th 2000 hal. 212

[6] Prof.Dr.H.Abu Bakar Aceh, sejarah filsafat Islam, Sala:C.V.Ramdhani, Cet. 2 th 1982, hal. 174

[7] Amroeni Drajat, Op.cit, hal. 43

[8] Ibid,hal. 57-58

[9] Dr.Hasyimsyah Nasution, M.A. Op.cit, hal. 58

[10] Ibid,hal. 59-60

[11] Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, pemikiran filsafat dalam Islam, Jakarta: Djambatan, Cet, 1 th 2003, hal. 89-90

[12] Dr.Hasyimsyah Nasution, M.A. Op.cit, hal. 61

[13] Ibid,hal. 61

[14] Ibid.hal. 64-65

[15] Ibid,hal. 43-44

0 komentar:

Posting Komentar